Tirai Terakhir, Semangat Yang Tak Pernah Padam

0
6

Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan: Ketika Teater Menyalakan Ingatan Palembang

LogikaIndonesia.Com – Pada sore yang hangat di Palembang, Selasa 21 Oktober 2025, tirai terakhir teater “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” diturunkan dengan tepuk tangan panjang yang menggema di Graha Budaya Jakabaring. Namun, yang berakhir sore itu bukan sekadar sebuah pementasan. Ia adalah penanda dari sesuatu yang lebih besar kebangkitan baru seni pertunjukan di jantung Sumatera Selatan, dan sebuah perlawanan kultural terhadap lupa.

Panggung yang Menyulut Ingatan

Sejak hari pertama, pentas ini telah menyedot perhatian ratusan pasang mata. Dari pelajar yang haus akan sejarah, seniman yang rindu akan panggung yang hidup, hingga masyarakat umum yang datang dengan rasa ingin tahu dan bangga—semuanya larut dalam kisah sang Sultan yang legendaris. Bahkan di hari terakhir, kapasitas gedung nyaris tak mampu menampung gelombang penonton yang terus berdatangan. Beberapa rela berdiri, hanya demi menyaksikan sejarah yang dihidupkan kembali lewat seni.

Pementasan ini bukan sekadar lakon. Ia adalah peristiwa budaya. Diadaptasi dari kisah perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II pemimpin Palembang yang dikenal gagah berani melawan kolonialisme teater ini menjadi medium yang menjembatani masa lalu dan masa kini. Ia menggugah kesadaran kolektif akan nilai-nilai keberanian, harga diri, dan identitas budaya yang diwariskan sang Sultan.

Magisnya Panggung, Hidupnya Sejarah

Atmosfer di dalam gedung terasa nyaris sakral. Setiap dialog, iringan musik, dan gerak tubuh para aktor berpadu membentuk alur dramatik yang memikat. Sorot lampu panggung menambah intensitas emosi, terutama saat adegan perlawanan dan pengkhianatan yang menggetarkan. Penonton berkali-kali memberi tepuk tangan panjang tanda penghargaan terhadap kerja keras para aktor, sutradara, dan tim produksi yang berhasil menyulap sejarah menjadi pengalaman teater yang hidup dan menggugah.

“Ini bukan sekadar pertunjukan,” ujar Basuni, Kepala Bidang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Dinas Pendidikan Sumatera Selatan. “Seni pertunjukan seperti ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Anak-anak dan generasi muda perlu belajar sejarah tidak hanya dari buku, tapi dari panggung yang menghidupkan tokoh-tokoh besar seperti Sultan Mahmud Badaruddin II.”

Perlawanan Kultural terhadap Lupa

Gadang Hartawan, pemerhati kebudayaan Sumatera Selatan, menyebut pementasan ini sebagai momentum penting kebangkitan kesadaran budaya lokal di tengah derasnya arus modernisasi. “Kisah Sultan Mahmud Badaruddin II adalah cermin identitas Palembang yang gagah dan bermartabat. Ketika teater mengangkat tokoh ini dengan kemasan yang kuat, itu bukan sekadar nostalgia tetapi perlawanan kultural terhadap lupa,” katanya.

Dalam konteks hari ini, ketika generasi muda kerap terputus dari akar sejarahnya, teater ini menjadi jembatan yang menghubungkan mereka kembali pada warisan yang agung. Ia bukan hanya mengisahkan perjuangan, tetapi juga menanamkan kembali rasa memiliki terhadap tanah dan sejarahnya.

Dari Panggung ke Kesadaran Kolektif

Lebih dari sekadar hiburan, “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” telah menjadi ruang perenungan tentang arti perjuangan dan harga sebuah martabat. Dalam bayangan sorot panggung yang meredup di akhir pertunjukan, tersisa semangat yang menyala: bahwa Palembang memiliki warisan yang tak hanya layak dikenang, tetapi juga terus dihidupkan melalui karya seni.

Pementasan terakhir itu bukanlah penutup, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Ia adalah seruan untuk terus menghidupkan panggung sebagai ruang ekspresi, pendidikan, dan perlawanan. Di Negeri Palembang Darussalam, tempat di mana sejarah, kebudayaan, dan semangat rakyatnya bersatu di atas satu panggung, harimau itu belum jinak dan semoga tak akan pernah.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini