PALEMBANG, LogikaIndonesia.Com — Di pelataran Benteng Kuto Besak yang bersejarah, malam 1 Agustus 2025 menjadi saksi pertemuan antara tradisi dan diplomasi budaya. Swarna Songket Nusantara 2025 bukan sekadar pertunjukan busana, melainkan panggung advokasi tekstil tradisional yang menyatukan kepala daerah, tokoh nasional, dan pelaku seni dalam satu benang merah: pelestarian warisan leluhur.
Songket Palembang tampil bukan hanya sebagai kain, tetapi sebagai narasi hidup. Motif Naga Besaung dan Bunga Melur yang menghiasi kain-kain mewah itu menyimpan filosofi kekuatan, keindahan, dan regenerasi. Dalam balutan songket Lepus dan Tawur, para penenun menyulam harapan masyarakat Sumatera Selatan.
Fashion show yang melibatkan kepala daerah dari berbagai provinsi memperlihatkan pluralitas budaya yang berjalan beriringan. Setiap busana yang ditampilkan membawa identitas lokal, sekaligus menyuarakan semangat pelestarian.
Legitimasi Nasional dan Diplomasi Lembut
Kehadiran Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), Selvi Ananda Gibran Rakabuming Raka, memberi bobot nasional pada acara ini. Dalam sambutannya, ia menyampaikan harapan agar kain tradisional seperti songket dapat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
“Kita semua tahu bahwa kain tradisional Indonesia sangatlah kaya. Malam ini membuktikan betapa kuatnya identitas budaya itu,” ujarnya.
“Saya berharap suatu hari nanti, kita mengenakan pakaian songket di sekolah-sekolah atau di tempat kerja sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan bangsa.”
Songket sebagai Strategi Budaya dan Ekonomi
Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru, menegaskan bahwa songket bukan hanya warisan, tetapi juga simbol martabat dan karakter masyarakat Sumsel.
“Songket harus menjadi bagian dari gaya hidup. Kita tidak boleh membiarkannya hanya tampil dalam seremoni. Ini adalah diplomasi budaya yang bisa bicara di tingkat internasional,” katanya.
Sementara itu, Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, menyoroti peran songket dalam penguatan ekonomi kreatif.
“Motif bunga tanjung yang kami tampilkan malam ini melambangkan keramahan dan ucapan selamat datang. Songket bukan sekadar estetika, tetapi simbol nilai-nilai hidup,” ujarnya.
“Kami mendorong agar pelaku UMKM tekstil terus berinovasi. Songket adalah peluang ekonomi yang berkelanjutan.”
Benteng Kuto Besak Ruang Simbolik
Pemilihan Benteng Kuto Besak sebagai lokasi acara bukanlah keputusan estetika semata. Bangunan yang menyimpan jejak kolonial dan perjuangan ini menjadi metafora dari benang-benang sejarah yang kini dijahit ulang dalam bentuk advokasi visual.
Sistem pencahayaan panggung dan dokumentasi audiovisual memperkuat narasi bahwa warisan budaya tidak hanya hidup di museum, tetapi dapat tampil megah di ruang publik dan digital.
Menenun Masa Depan
Swarna Songket Nusantara 2025 menjadi bukti bahwa pelestarian budaya dapat menjadi gerakan kolektif yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Dari panggung BKB, benang-benang songket tidak hanya menyulam kain, tetapi juga menyulam kesadaran nasional akan pentingnya menjaga dan merayakan identitas budaya.
Di tengah arus modernitas, songket tampil bukan sebagai artefak masa lalu, melainkan sebagai simbol masa depan yang berakar kuat pada tradisi.




