Palembang, LOGIKAINDONESIA.COM – Di balik kejayaan Kedatuan Sriwijaya yang termasyhur dalam sejarah Asia Tenggara, tersimpan sebuah konsep hukum sakral yang menegaskan supremasi kekuasaan dan tatanan spiritual kerajaan: Sapatha. Lebih dari sekadar sumpah, sapatha adalah ancaman metafisik yang menyertai pelanggaran terhadap aturan kerajaan. Dalam prasasti-prasasti peninggalan Sriwijaya, konsep ini hadir bukan hanya sebagai alat kontrol, tetapi juga sebagai cerminan ideologi kekuasaan yang mendalam.
Dalam seminar kajian koleksi Museum Sriwijaya bertema “Prasasti-Prasasti Sapatha Sriwijaya dan Fragmen Kapal Sriwijaya”, yang digelar di UPTD Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya (TWKS), Gandus, Palembang, Rabu (9/7/2025), sejumlah narasumber memaparkan perspektif menarik tentang makna sapatha dalam konteks sejarah dan spiritualitas.
Sapatha: Ideologi dari Masa Silam ke Masa Kini
Dr. Dedi Irwanto, M.A., sejarawan dari Universitas Sriwijaya sekaligus Ketua Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (PUSKASS), menyebut sapatha sebagai ideologi yang hidup dan terus mengalami kontinuitas hingga kini. Ia melihat bahwa nilai-nilai dalam sapatha masih tercermin dalam praktik sumpah jabatan pejabat publik.
“Sapatha bukan sekadar istilah, tapi simbol kedamaian dan kesejahteraan yang mengandung nilai luhur. Tapi bagi saya pribadi, ketika membahasnya, ada rasa takut menjadi pejabat karena ancaman kutukan yang melekat di dalamnya,” ujar Dedi.
Ia mencontohkan penangkapan mantan Wali Kota Palembang, Harnojoyo, dalam kasus korupsi revitalisasi Pasar Cinde, sebagai bentuk “manifestasi kutukan” atas pengkhianatan terhadap amanah publik. Bagi Dedi, pejabat publik perlu menghayati makna sapatha agar tak sekadar menjabat, tapi menjaga integritas dan komitmen untuk tidak berkhianat terhadap rakyat.
Kutukan Bisa Berkah: Perspektif Spiritual
Menariknya, Dedi juga menyampaikan bahwa sapatha tidak semata membawa kutukan, tetapi bisa bermakna berkah. Ia merujuk pada konsep dalam Buddhisme tentang “syarira”, tubuh yang murni karena perbuatan baik. Bahkan, Dedi membandingkannya dengan perjalanan spiritual dalam ajaran Sufi Islam—dari syariat, tarikat, hakikat hingga makrifat—di mana pencapaian spiritual yang tinggi melahirkan dampak positif bagi masyarakat luas.
“Jika seseorang berbuat baik, maka akan ada energi positif yang berdampak pada orang-orang di sekitarnya,” jelas Dedi.
Sapatha sebagai Alat Kekuasaan Transenden
Peneliti epigrafi dari BRIN dan Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI), Wahyu Rizky Andhifani, melihat sapatha dalam dimensi politik kekuasaan. Ia menegaskan bahwa sapatha merupakan perangkat sakral yang dirancang untuk menanamkan ketundukan total kepada datu (penguasa), serta menekan potensi pemberontakan secara kolektif.
“Pelanggaran terhadap datu dianggap sebagai dosa kosmik. Balasannya bersifat mistis—sakit, kegilaan, kematian, hingga kejatuhan moral. Bahkan, kutukan bisa meluas ke keluarga dan keturunan si pelanggar,” ungkap Wahyu.
Menurutnya, prasasti-prasasti kutukan menjadi bukti bahwa Sriwijaya tidak hanya mengelola kekuasaan secara administratif atau militer, tetapi juga melalui sistem hukum performatif yang mengandalkan kekuatan kata-kata sebagai alat kendali.
Prasasti Kutukan: Simbol Kekuasaan dan Kecemasan Politik
Sementara itu, arkeolog BRIN, Sondang Martini Siregar, menekankan bahwa banyaknya prasasti kutukan yang dikeluarkan Sriwijaya adalah bentuk pernyataan kekuasaan dan penegasan otoritas datu di hadapan pejabat dan rakyat.
“Ini adalah strategi politik. Prasasti kutukan muncul karena ada kekhawatiran terhadap pengkhianatan atau pemberontakan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Sriwijaya,” kata Sondang.
Ia menyebut, dalam teks-teks prasasti, orang yang membujuk atau mengajak berkhianat pun ikut terkena kutuk. “Bukan hanya dia, tapi keluarganya juga. Begitu menyeramkannya otoritas kerajaan saat itu,” lanjutnya.
Antara Dewa dan Kekuasaan
Ancaman dalam sapatha tak hanya bersifat duniawi. Sumpah ini melibatkan entitas spiritual dan disampaikan di hadapan dewa-dewa. Hal ini memperlihatkan bagaimana Sriwijaya menggunakan dimensi sakral untuk memperkuat legitimasi dan stabilitas politiknya.
Sapatha, sebagai warisan budaya dan sistem hukum kuno, memberikan pelajaran penting bagi era kini—tentang pentingnya integritas, tanggung jawab, dan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di ranah spiritual. Sebuah konsep hukum kuno yang pantas direnungkan di tengah krisis moral dan kepemimpinan hari ini.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan hasil liputan seminar yang digelar oleh UPTD Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya dan kajian para pakar lintas bidang dari sejarah, epigrafi, dan arkeologi.


