Raja-Raja Nusantara Menyatu di Ndayu Park

0
109

SRAGEN,LogikaIndonesia.Com — Langit Sragen tampak cerah pada Jumat pagi, 26 September 2025. Jalan menuju Dusun Gembong, Desa Saradan, Kecamatan Karangmalang, mulai dipenuhi kendaraan dari berbagai daerah. Bukan sekadar wisatawan biasa yang datang ke Ndayu Park, melainkan para raja, sultan, dan zuriat kerajaan dari seluruh penjuru Nusantara. Dalam balutan pakaian kebesaran dan iringan adat masing-masing, mereka menghadirkan pemandangan yang jarang terlihat di masa kini—sebuah pertemuan besar para pewaris budaya bangsa.

Selama dua hari, Jumat hingga Sabtu (26–27 September 2025), Ndayu Park—kawasan wisata milik mantan Bupati Sragen Untung Wiyono—menjadi saksi sejarah. Sebanyak 45 raja hadir secara langsung, sementara empat kerajaan lain mengirimkan utusan resmi. Sragen pun berubah menjadi titik episentrum budaya dan adat istiadat Nusantara.

Suasana Penuh Warna

Dari kejauhan, payung-payung kebesaran berwarna emas dan merah menjulang, kontras dengan hijaunya pepohonan sekitar. Musik gamelan berpadu dengan tabuhan gendang dari Kalimantan, sementara para penari adat dari berbagai daerah menyambut kedatangan tamu agung. Masyarakat setempat yang berdiri di tepi jalan menyambut dengan kagum, sebagian sibuk mengabadikan momen melalui ponsel.

“Jarang-jarang ada raja sebanyak ini datang ke Sragen. Rasanya seperti melihat sejarah hidup kembali,” kata Rini, warga Karangmalang yang sejak pagi menunggu di depan pintu gerbang Ndayu Park.

Acara ini bukan sekadar pelantikan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) MAKN atau Musyawarah Madya IV. Lebih dari itu, forum ini menjadi wadah silaturahmi, rembuk, dan penguatan antarwilayah agar adat dan budaya Nusantara tidak sekadar simbol masa lalu.

Sultan Palembang dan Pesan Kebersamaan

Di antara raja yang hadir, Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jayo Wikramo Raden Muhammad Fauwaz Diradja, tampil dengan kharisma khasnya. Didampingi Dato’ Pangeran Citro H. Kemas Ridwan Anthony Taufan dan Pangeran Citro Dr. H. Kemas Herman, SMB IV menyampaikan pandangan yang menegaskan peran penting pertemuan ini.

“Tujuan utama kita adalah bagaimana adat dan budaya di setiap wilayah bisa terus dilestarikan. Melalui MAKN, kita ingin ada sinergi antara kerajaan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, agar warisan leluhur tetap hidup dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya dengan suara tegas.

Baginya, forum ini bukan hanya ajang bertukar salam, melainkan wadah penguatan identitas bangsa. “Setiap wilayah harus memiliki penguatan budaya masing-masing. Dengan begitu, kita bisa bersama-sama menjaga jati diri bangsa di tengah perubahan zaman,” tambahnya.

Kata-kata Sultan SMB IV seolah menegaskan keresahan banyak pihak: bagaimana warisan leluhur bisa tetap eksis di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.

Momentum Strategis, Bukan Sekadar Seremonial

Senada dengan Sultan Palembang, Ketua Umum MAKN, KPH Eddy Wirabumi dari Karaton Surakarta Hadiningrat, menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar acara seremonial.

“Raja-raja Nusantara ingin menegaskan eksistensi kami dalam menjaga budaya, tradisi, dan adat istiadat warisan leluhur. Sekaligus berkontribusi nyata untuk pembangunan bangsa,” katanya.

Pernyataan itu disambut tepuk tangan meriah para peserta.

Forum ini kemudian melahirkan empat rekomendasi besar yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat:

Pembentukan Dewan Kerajaan Nusantara sebagai mitra resmi pelestarian adat, tradisi, dan budaya.

Perlindungan Tanah Adat dan Tanah Ayat, agar hak masyarakat adat tidak tergerus kebijakan pertanahan modern.

Pengelolaan Aset Kerajaan, supaya warisan sejarah bisa dioptimalkan menjadi sumber ekonomi produktif.

Revitalisasi Kebudayaan Fisik dan Non-Fisik, agar budaya kerajaan tak hanya menjadi kenangan, tetapi bagian nyata dari kehidupan modern.

Sragen Sebagai Titik Kumpul

Pemilihan Sragen bukan tanpa alasan. Letaknya yang strategis di Jawa Tengah, menghubungkan Solo, Yogyakarta, dan Jawa Timur, menjadikannya titik temu yang mudah dijangkau. Nilai historis Sragen juga memperkuat makna acara ini.

Bagi masyarakat lokal, dua hari itu menjadi pengalaman berharga. Mereka bisa menyaksikan prosesi adat yang biasanya hanya ada di daerah tertentu. Dari tarian tradisi, pelantikan, hingga diskusi budaya, semuanya berlangsung dalam nuansa khidmat sekaligus meriah.

Ekonomi lokal pun ikut bergerak. Pedagang makanan di sekitar Ndayu Park kebanjiran pembeli, penginapan penuh, dan para perajin batik Sragen mendapat pesanan sebagai cenderamata. “Alhamdulillah, ramai sekali. Dagangan saya laris. Semoga sering ada acara seperti ini,” ujar Suyatmi, penjual jajanan tradisional.

Warisan yang Tak Boleh Padam

Di penghujung acara, rembuk nasional menghasilkan rekomendasi yang dipandang sebagai langkah nyata bagi keberlanjutan peran kerajaan di Nusantara. Semua sepakat: kerajaan bukanlah sekadar cerita dalam buku sejarah, melainkan bagian dari identitas bangsa yang masih hidup.

“Kerajaan-kerajaan Nusantara bukan tinggal nama. Dengan kerja sama pemerintah dan MAKN, warisan budaya akan terus hidup dan bermanfaat bagi Indonesia,” tutur Eddy Wirabumi dengan nada penuh harap.

Harapan itu seolah menjadi janji kolektif: bahwa adat, budaya, dan kearifan lokal tidak boleh padam, melainkan harus terus menjadi suluh di tengah perjalanan bangsa menghadapi masa depan.

Dan dari Sragen, suara adat itu menggema ke seluruh Nusantara.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini