Pati Menggugat, Jakarta Harus Mendengar

0
52

LogikaIndonesia.Com – Demonstrasi besar-besaran di Pati bukan sekadar letupan lokal. Ia adalah cermin dari ketegangan yang selama ini terpendam. Ketika pajak mulai menyentuh setiap aspek kehidupan rakyat—dari parkir hingga pesta pernikahan, dari pakaian dalam hingga warisan—maka yang tersisa hanyalah kemarahan. Dan kemarahan itu kini menemukan bentuknya: perlawanan.

Pemerintahan Prabowo-Gibran tampak begitu agresif dalam mengejar pemasukan negara. Namun, semangat fiskal yang digembar-gemborkan itu justru terasa seperti pemerasan yang dilegalkan. Rakyat bukan ladang yang bisa dipanen tanpa henti. Mereka punya batas. Dan Pati menunjukkan bahwa batas itu telah dilewati.

Pemerintah yang Terputus dari Denyut Daerah

Di Jakarta, para pejabat sibuk merancang program-program ambisius. MBG (Makan Bergizi Gratis), Koperasi Merah Putih, dan berbagai inisiatif lain dijalankan tanpa melibatkan pemerintah daerah. Kepala desa hanya menjadi penonton. Ironisnya, ketika terjadi kerugian, mereka yang diminta bertanggung jawab. Dana desa dijadikan agunan. Ini bukan pembangunan partisipatif—ini pemaksaan struktural.

UU Cipta Kerja memperparah keadaan. Kewenangan daerah dipangkas, izin-izin strategis diambil alih pusat. Pemerintah daerah kini hanya menjadi pelaksana teknis, bukan pengambil keputusan. Di tengah pemangkasan anggaran dan beban fiskal yang meningkat, mereka dipaksa menambal lubang tanpa alat.

Bupati Mundur, Rakyat Menang Satu Babak

Puncak dari gelombang protes di Pati adalah pengunduran diri sang bupati. Sosok yang sebelumnya dikenal dengan komentar-komentar arogan itu akhirnya menyerah pada tekanan publik. Ini bukan sekadar kemenangan simbolik. Ini adalah bukti bahwa suara rakyat, jika cukup lantang dan konsisten, bisa mengguncang kursi kekuasaan.

Namun, pengunduran diri ini juga menjadi pengingat: bahwa pejabat publik tidak bisa lagi berlindung di balik retorika. Mereka harus hadir, mendengar, dan bertanggung jawab.

Budaya Menjilat dan Kekuasaan yang Takut Mendengar

Yang lebih mengkhawatirkan adalah budaya menjilat yang semakin vulgar. Para menteri berlomba-lomba menyenangkan Presiden, yang konon tidak suka mendengar berita buruk. Maka laporan-laporan dipoles, data dimanipulasi, dan komentar-komentar publik menjadi absurd.

Ketika Menteri Kebudayaan menyebut kakek Presiden sebagai Bapak Koperasi, atau Wamen pendidikan menyebut MBG bisa membuat anak-anak mahir matematika dan bahasa Inggris, kita tahu ada yang tidak beres. Ini bukan sekadar kelucuan. Ini adalah tanda bahwa kekuasaan telah kehilangan arah.

Presiden Prabowo sendiri tampak lebih sibuk tampil di panggung internasional. Parade militer, foto bersama pemimpin dunia, dan retorika tentang kebesaran bangsa menjadi prioritas. Tapi di dalam negeri, rakyat bergulat dengan harga yang naik, pajak yang mencekik, dan pejabat yang bicara seenaknya.

Pati Sebagai Pemantik

Pati bukan akhir. Ia adalah awal. Jika pemerintah terus menutup telinga, gerakan sosial akan meluas. Rakyat tidak lagi takut. Mereka muak. Dan mereka siap bergerak.

Jakarta harus mendengar. Bukan dengan janji kosong, bukan dengan parade militer, tapi dengan perubahan nyata. Jika tidak, maka Pati akan menjadi bab pertama dari cerita panjang tentang tumbangnya kekuasaan yang arogan.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini