Oleh: Ali Goik Pegiat Lingkungan dan sosial budaya
Palembang,LOGIKAINDONESIA.COM-Di tengah hiruk-pikuk Kota Palembang yang terus tumbuh dengan gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan modern, berdiri sebuah nama yang kini hanya menjadi bayang-bayang masa lalu: Pasar Lingkis yang lebih dikenal dengan Pasar Cinde. Dulu, ia adalah denyut nadi ekonomi rakyat, tempat bertemunya budaya, sejarah, dan kehidupan sehari-hari. Kini, yang tersisa hanyalah rangka baja berkarat yang dipenuhi dengan semak belukar dan kenangan yang perlahan memudar.
Jejak Sejarah yang Terhapus
Dibangun pada tahun 1957, Pasar Cinde merupakan salah satu pasar tertua di Palembang. Arsitekturnya unik, dengan atap cendawan dan pilar-pilar besar yang mencerminkan gaya kolonial modern. Pada 2017, bangunan ini sempat ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Wali Kota Palembang, sebuah pengakuan atas nilai historis dan arsitekturalnya.
Namun, hanya berselang beberapa bulan setelah penetapan itu, bangunan pasar dibongkar untuk memberi jalan bagi proyek pembangunan mal modern. Ironisnya, proyek tersebut hingga kini terbengkalai, menyisakan lahan kosong dan struktur baja yang tak kunjung berubah.
Pedagang yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Di antara puing-puing dan semrawutnya kawasan, ratusan pedagang masih bertahan. Mereka berjualan di bawah atap darurat, menempati lorong-lorong sempit yang dulunya adalah jalur kendaraan. “Aku idak tahu, kapan lagi Pasar Cinde ini dibangun. Jingoklah, pecak hutan,” keluh Firman, pedagang bumbu dapur yang telah berjualan di sana sejak era 90-an.
Lapak-lapak kini meluber hingga ke Jalan Letnan Jaimas, mempersempit akses dan menciptakan kemacetan. Kondisi ini tak hanya menyulitkan pedagang dan pembeli, tapi juga mencoreng wajah kota yang tengah berbenah.
Kenangan Kolektif yang Tak Terhapus
Bagi warga Palembang, terutama generasi 80–90-an, Pasar Cinde bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah ruang kenangan. Mina (50), misalnya, masih mengingat betul saat membeli pakaian bersama almarhum ayahnya di lantai dua pasar. “Sebelum atau setelah ke rumah saudara di belakang pasar, kami selalu mampir ke Cinde. Beli baju, mainan, jajanan. Aman dan nyaman,” kenangnya.
Pasar ini juga dikenal sebagai tempat yang lebih ramah dibanding Pasar 16 Ilir, yang dulu dianggap rawan copet. Cinde adalah ruang aman, ruang nostalgia, ruang budaya.
Modernisasi yang Gagal Menyentuh Akar
Pemerintah kota sempat berambisi menjadikan Pasar Cinde sebagai mal modern bertingkat. Namun, proyek itu gagal sejak awal. Tidak ada kejelasan, tidak ada transparansi, dan yang paling menyakitkan: tidak ada pelibatan masyarakat. “Bangun pasar ini bukan kehendak pedagang dan masyarakat, tapi pemerintah,” ujar Firman dengan nada getir.
Kini, kawasan yang dulu hidup dan ramai berubah menjadi ruang mati. Sampah berserakan, lalu lintas semrawut, dan tidak ada tanda-tanda pembangunan akan dilanjutkan.

Kisah Pasar Cinde adalah cermin dari kota di Palembang: ketika modernisasi dijadikan dalih untuk menghapus sejarah. Ketika pembangunan tidak berpihak pada rakyat, dan warisan budaya dianggap penghalang, bukan sebagai kekayaan.


