PALEMBANG,LogikaIndonesia.Com — Suasana hangat terasa di Rumah Dinas Walikota Palembang, Rabu (24/9/2025). Kursi-kursi yang tersusun rapi di ruang pertemuan itu dipenuhi tokoh adat, akademisi, budayawan, pejabat pemerintahan, hingga kalangan muda kreatif. Mereka berkumpul bukan sekadar untuk berdiskusi, melainkan untuk merumuskan identitas kultural yang akan melekat pada Kota Palembang: tari sambut khas, aksara Arab Melayu (Jawi), dan motto kota.
Di antara peserta yang hadir, tampak Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH MKn. Sultan membuka wacana penting Palembang, kota tua yang pernah menjadi pusat Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam, hingga kini belum memiliki semboyan resmi yang kuat mencerminkan jati dirinya.
“Kita sepakat semboyan harus mencerminkan karakter kita sebagai orang Palembang. Usulan yang dianggap cocok adalah ‘Adat Dipangku, Syariat Dijunjung’, karena ini menegaskan semangat kita menegakkan syariat sekaligus menjaga adat istiadat,” ujar Sultan, disambut anggukan hadirin.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa alternatif seperti “Palembang Jaya” atau “Palembang Darussalam” tetap terbuka untuk dipertimbangkan lebih lanjut. “Palembang Darussalam,” tambahnya, “lebih merepresentasikan Palembang sebagai kota agamis yang terbuka menerima siapa saja.”
Menghidupkan Kembali Aksara Jawi
Selain motto, diskusi berkembang ke arah aksara Arab Melayu (Jawi). Sultan menekankan pentingnya menghidupkan kembali aksara warisan tersebut sebagai identitas budaya. “Penulisan Arab Melayu perlu dibiasakan lagi agar masyarakat mengenal akar peradaban kita. Ini bagian dari menguatkan identitas Palembang sebagai kota Melayu,” katanya.
Gagasan itu pun mendapat dukungan luas. Akademisi, sejarawan, hingga budayawan setuju bahwa penerapan aksara Jawi bisa dimulai dari hal sederhana: papan nama jalan, ornamen kota, hingga kartu nama pejabat pemerintahan. “Dengan begitu, masyarakat bisa akrab kembali dengan warisan tulisannya sendiri,” timpal DR. Kemas A.R. Panji, fasilitator FGD.
Mencari Tari Sambut Khas Palembang
Topik lain yang tak kalah hangat adalah soal tarian penyambutan resmi kota. Selama ini, Palembang kerap menggunakan tari Gending Sriwijaya yang sesungguhnya lebih mencerminkan era Kedatuan Sriwijaya. Banyak peserta menilai, sudah waktunya Palembang memiliki tari sambut yang benar-benar mewakili Kesultanan Palembang Darussalam sekaligus identitas kotanya saat ini.
“Gerak, kostum, dan nuansa tarinya harus khas Palembang. Bukan meniru daerah lain,” ujar salah seorang budayawan.
Dr. Kemas menambahkan, konsep tarian sambut yang akan diusulkan lebih bernuansa Kesultanan Palembang Darussalam. “Karena Gending Sriwijaya sudah memiliki posisinya sendiri sebagai representasi era Sriwijaya, maka tari sambut ini harus berdiri di ruang identitas berbeda,” jelasnya.
Dari Diskusi Menuju Perwali
Tak hanya berhenti di wacana, FGD ini juga menghasilkan langkah konkret. Staf Ahli Walikota, Riza Pahlevi, menegaskan bahwa tiga poin penting tari sambut, aksara Jawi, dan motto kota akan segera dituangkan dalam Peraturan Walikota (Perwali).
“Ketiganya kita FGD-kan agar punya dasar kuat. Setelah ini akan dirumuskan dan ditetapkan lewat Perwali,” katanya.
Senada, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Affan Prapanca, menyebut forum ini sebagai tindak lanjut instruksi walikota. “Ini bukan hanya seremonial, tapi awal dari penguatan identitas kultural Palembang ke depan,” ujarnya.
Jejak Menuju Identitas Kultural
FGD kali ini menjadi ruang penting bagi Palembang untuk merenungkan ulang siapa dirinya. Dari diskusi serius hingga candaan kecil yang menyelip di sela forum, tampak ada satu semangat besar: keinginan menjaga warisan, sambil menyesuaikannya dengan zaman.
Sosiolog Saudi Berlian menyebut langkah ini sebagai upaya penting mengikat kembali memori kolektif warga Palembang. Sementara budayawan Vebri Al Lintani menekankan bahwa budaya hanya akan hidup jika diwariskan, bukan sekadar dibicarakan.
Di akhir forum, Sultan SMB IV mengingatkan, “Palembang adalah kota yang punya sejarah besar. Identitas itu jangan sampai hilang. Tari sambut, aksara Jawi, dan semboyan hanyalah pintu masuk untuk menghidupkan kembali kebanggaan kita sebagai wong Palembang.”
Dan dari pintu masuk itu, Palembang kini tengah melangkah menuju jati dirinya.




