Palembang Belagak Ketika Tembok Bicara, Kota Mulai Mendengar

0
22

PALEMBANG, LogikaIndonesia.Com –  Di sebuah sudut kota Palembang yang biasanya sunyi, tembok-tembok kini bicara. Warna-warni mural dan grafiti menyulap ruang publik menjadi kanvas perlawanan, ekspresi, dan harapan. Lomba mural bertajuk “Goresan Cindo Palembang Belagak Stop Vandalisme” bukan sekadar ajang seni rupa jalanan, melainkan sebuah peristiwa budaya yang mengusik narasi lama bahwa seni bukan pelengkap, melainkan denyut nadi kota yang hidup.

Yang membuat momen ini berbeda bukan hanya karya-karya visual yang menghiasi dinding kota, tetapi siapa yang berdiri di tengah-tengahnya. Wali Kota Palembang hadir langsung membuka acara, menyapa para seniman muda, dan berdialog dengan komunitas. Bagi banyak pelaku seni, ini bukan sekadar kehadiran simbolik ini adalah pengakuan yang selama ini absen dari panggung kebijakan.

Sejarah yang Tak Pernah Diperhatikan

Selama bertahun-tahun, Dewan Kesenian Palembang dan komunitas seni lokal bergerak dalam bayang-bayang. Agenda seni dan budaya sering kali diposisikan sebagai pelengkap seremoni, bukan sebagai pilar pembangunan kota. Dalam berbagai acara besar, keterlibatan pemerintah terbatas pada kehadiran kepala dinas, bukan pengambil keputusan tertinggi. Ruang ekspresi publik minim, dukungan anggaran terbatas, dan kebijakan seni nyaris tak terdokumentasi secara sistemik.

Namun, di balik keterbatasan itu, komunitas tetap bertahan. Mereka melukis, menulis, menari, dan bersuara meski tak selalu didengar. Seni jalanan menjadi medium advokasi, mural menjadi arsip visual tentang keresahan sosial, dan grafiti menjadi kritik terhadap ketimpangan ruang kota.

Dari Tembok ke Kebijakan Perda yang Mulai Dibahas

Kehadiran wali kota dalam “Palembang Belagak” menjadi titik balik. Di era kepemimpinannya, isu pemajuan kesenian mulai masuk dalam radar prioritas strategis. Saat ini, rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemajuan Kesenian tengah dalam proses pembahasan di DPR Kota Palembang. Meski belum ditetapkan, proses ini menandai langkah awal menuju pengakuan hukum terhadap ekosistem seni di Palembang.

Perda ini diharapkan menjadi payung kebijakan yang menjamin:

– Ruang ekspresi publik yang inklusif dan aman
– Dukungan anggaran yang berkelanjutan
– Penguatan peran komunitas seni sebagai aktor pembangunan kota
– Mekanisme partisipatif dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan seni

Bagi komunitas, proses ini bukan sekadar teknokrasi. Ini adalah perjuangan panjang untuk mendapatkan legitimasi, ruang, dan kepercayaan.

Suara dari Jalanan

“Ini bukan hanya soal cat di tembok,” ujar salah satu peserta lomba. “Ini tentang ruang berekspresi, tentang kota yang mendengar suara warganya.”

Setiap mural yang terpampang membawa narasi tentang identitas yang terpinggirkan, tentang sejarah yang dilupakan, tentang harapan yang belum ditunaikan. Seni jalanan menjadi arsip alternatif, mencatat apa yang tak tertulis dalam dokumen resmi.

“Lomba Goresan Cindo Palembang Belagak Stop Vandalisme” bukan hanya kompetisi, tapi juga panggung advokasi visual. Ketika pemimpin kota berdiri di tengah-tengah para seniman, bukan di atas podium yang jauh, ada pesan simbolik yang tak bisa diabaikan: bahwa seni jalanan adalah bagian sah dari percakapan publik.

Menjaga Momentum, Membangun Legitimasi

Tantangan ke depan adalah menjaga momentum. Apakah ini awal dari keterlibatan yang lebih substansial antara pemerintah dan komunitas seni? Ataukah hanya momen sesaat yang akan kembali tenggelam?

Untuk menjawabnya, dibutuhkan komitmen lintas sektor: dari birokrasi yang mau mendengar, dari komunitas yang terus bersuara, dan dari publik yang ikut mengawal. Perda Pemajuan Kesenian harus lahir dari proses partisipatif, bukan sekadar produk teknokratik. Ia harus mencerminkan pluralitas praktik seni, kompleksitas ruang kota, dan keberagaman suara warga.

Kota yang Belagak, Kota yang Bergerak

Palembang, dengan segala “belagaknya,” sedang menata ulang wajahnya. Dari bawah ke atas, dari jalanan ke kebijakan. Tembok-tembok kota telah bicara, dan kini saatnya pemerintah menjawab dengan tindakan nyata.

Seni bukan pelengkap. Ia adalah fondasi kota yang berani bermimpi, berani berbeda, dan berani mendengar.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini