Menjaga yang Tak Terlihat 17 Warisan Budaya Takbenda Sumatera Selatan

0
13

PALEMBANG, LogikaIndonesia.Com – Di tengah riuhnya pembangunan dan digitalisasi, Sumatera Selatan kembali menegaskan bahwa warisan budaya bukan sekadar masa lalu yang dipajang, melainkan denyut hidup yang terus bergetar dalam keseharian masyarakat. Tahun ini, 17 elemen budaya dari berbagai kabupaten dan kota di Sumsel resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia. Penetapan ini bukan hanya soal pengakuan administratif, tetapi juga tentang siapa yang dilihat, siapa yang diakui, dan siapa yang masih tertinggal dalam narasi kebudayaan nasional.

Dari Hulu Sungai Musi ke Pedalaman Lahat: Peta Ragam dan Makna

Mari kita telusuri satu per satu, bukan sebagai daftar, tetapi sebagai cerita yang hidup.

Palembang Simbol Keanggunan dan Ketahanan

– Aesan Paksangko bukan sekadar busana adat. Ia adalah pernyataan estetika dan filosofi hidup masyarakat Palembang yang menjunjung tinggi martabat, kehalusan budi, dan struktur sosial yang tertata.
– Rumah Rakit, hunian terapung di Sungai Musi, adalah bukti adaptasi ekologis dan spiritual masyarakat sungai. Ia bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ruang interaksi, perdagangan, dan kontemplasi.
– Bubur Suro Palembang, kuliner ritual yang hadir dalam perayaan Muharram, menyimpan nilai spiritual, solidaritas, dan pengingat akan perjalanan sejarah Islam di tanah Melayu.

Musi Banyuasin Lumbung Tradisi yang Tak Pernah Kering

Tujuh WBTb dari Musi Banyuasin menunjukkan betapa kaya dan aktifnya tradisi di wilayah ini:
– Tari Burung Putih melambangkan harapan, kesucian, dan hubungan manusia dengan alam.
– Bakul Tangkal, kerajinan anyaman yang dibuat oleh perempuan desa, adalah simbol ketekunan dan ekonomi rumah tangga.
– Dundai Naek Sialang, ritual panjat pohon sialang untuk mengambil madu, mengandung nilai ekologis, spiritual, dan keberanian.
– Tari Ulang-Ulang dan Tari Dundang adalah ekspresi gerak yang mengiringi momen adat, panen, dan perayaan.
– Sedekah Rame Kertayu adalah ritual gotong royong yang memperkuat solidaritas antarwarga, menjadi ruang negosiasi sosial dan spiritual.

OKI Bahasa, Legenda, dan Perkawinan sebagai Warisan Identitas

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mempersembahkan enam WBTb yang memperkaya lanskap budaya Sumsel:
– Adat Perkawinan Suku Penesak Pedamaran adalah prosesi sakral yang menjunjung nilai kekeluargaan, adat, dan spiritualitas lokal.
– Tari Lilin Bepinggan dan Tari Cang-Cang menggambarkan dinamika kehidupan, keindahan gerak, dan filosofi kerja kolektif.
– Bahasa Kayu Agung adalah identitas linguistik yang perlu dilestarikan di tengah ancaman homogenisasi bahasa nasional.
– Legenda Petori Buwok Handak dan Langkuse adalah kisah rakyat yang mengandung pesan moral, sejarah lokal, dan imajinasi kolektif.

Lahat dan Prabumulih: Ritual dan Tarian sebagai Penjaga Ingatan

– Tari Sanggan Sighe dari Lahat adalah tarian yang menggambarkan semangat, kepercayaan terhadap alam, dan kekuatan perempuan.
– Sedekah Dusun Pangkul dari Prabumulih adalah ritual tahunan sebagai wujud syukur atas hasil bumi, sekaligus ruang konsolidasi sosial.

Sumsel Secara Provinsi Rasa yang Menjadi Identitas

– Bekasem, olahan fermentasi ikan khas Sumsel, adalah warisan kuliner yang menyimpan teknik pengawetan tradisional dan cita rasa unik. Ia bukan hanya makanan, tetapi juga pengetahuan ekologis dan ekonomi rumah tangga.

Di Balik Penetapan Siapa yang Diakui, Siapa yang Belum Terlihat?

Penetapan WBTb adalah langkah penting, tetapi juga mengandung pertanyaan kritis: bagaimana prosesnya? Siapa yang terlibat? Apakah komunitas pemilik tradisi dilibatkan secara bermakna, atau hanya menjadi objek dokumentasi?

Bagi banyak komunitas, terutama yang berada di daerah terpencil atau tidak terhubung secara digital, penetapan ini bisa terasa jauh. Di sinilah pentingnya pendekatan “jemput bola” dan penggunaan data lokal—bukan hanya menunggu usulan dari pusat, tetapi aktif mendatangi, mendengar, dan mendokumentasikan langsung dari sumbernya.

Tanggung Jawab Bersama Dari Pengakuan ke Penguatan

Penetapan WBTb harus menjadi awal, bukan akhir. Ia harus diikuti oleh:
– Program revitalisasi yang melibatkan komunitas secara aktif.
– Dokumentasi yang etis, partisipatif, dan berkelanjutan.
– Pendidikan publik yang mengangkat nilai-nilai lokal ke ruang nasional.
– Kebijakan yang menjamin keberlanjutan, bukan sekadar seremonial.

Budaya takbenda adalah denyut kehidupan. Ia tak terlihat, tapi membentuk kita. Ia tak terjamah, tapi menggerakkan kita. Maka, tugas kita adalah memastikan bahwa pengakuan ini tidak berhenti di dokumen, tetapi hidup dalam kebijakan, pendidikan, dan ruang publik.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini