Sidak Dedi Mulyadi di Pabrik Aqua Subang Mengguncang Narasi Air Kemasan
LogikaIndonesia.Com — Selama puluhan tahun, masyarakat Indonesia telah mengenal air minum dalam kemasan (AMDK) sebagai produk yang bersumber dari kemurnian mata air pegunungan. Iklan-iklan yang menampilkan aliran air jernih dari lereng hijau nan asri telah membentuk persepsi kolektif: bahwa setiap tetes yang dikemas adalah warisan alam yang murni. Namun, sebuah kunjungan mendadak oleh Dedi Mulyadi—mantan Bupati Purwakarta dan Gubernur Jawa Barat saat itu—ke pabrik Aqua milik PT Tirta Investama di Subang, Jawa Barat, pada Senin, 20 Oktober 2025, mengguncang narasi tersebut dan membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang transparansi industri dan keberlanjutan lingkungan.
Sidak yang Mengguncang Fakta di Balik Gerbang Pabrik
Dalam video yang diunggah di kanal YouTube KDM, Dedi Mulyadi terlihat berjalan menyusuri area pabrik Aqua di Subang. Dengan gaya khasnya yang lugas dan penuh rasa ingin tahu, ia bertanya langsung kepada perwakilan perusahaan tentang asal muasal air yang mereka olah dan kemas.
“Di sini sumber airnya di mana?” tanya Dedi.
Jawaban yang diterima, dan terekam jelas dalam kamera, membuat publik terhenyak: “Airnya dari bawah tanah, Pak.”
Dedi pun memastikan, “Oh, ini dibor ngambil airnya? Berarti kategorinya sumur pompa dalam?” Pihak perusahaan mengonfirmasi bahwa air tersebut diambil melalui pengeboran sumur dalam, dengan kedalaman mencapai lebih dari 100 meter. Beberapa titik bahkan tercatat memiliki kedalaman 132 meter, 102 meter, dan 60 meter.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan citra yang selama ini dibangun melalui iklan dan kemasan produk. “Saya pikir airnya itu dari mata air, karena disebut air pegunungan. Ternyata bukan. Semua diambil dari air bawah tanah yang di-bor,” ungkap Dedi, menyuarakan kekecewaan yang juga dirasakan oleh banyak konsumen.
Di Balik Sumur Risiko Lingkungan dan Krisis Air
Temuan ini tidak hanya menyentuh soal kejujuran iklan, tetapi juga membuka diskusi serius tentang dampak ekologis dari eksploitasi air tanah di wilayah pegunungan. Subang, yang dikenal sebagai daerah rawan pergeseran tanah dan banjir, menjadi sorotan dalam konteks keberlanjutan.
“Air gunung nggak ambil bawah tanah, apa nggak geser tanahnya? Kalau di pegunungan, geser tanah berisiko. Ini harus diperhitungkan,” tegas Dedi, mengingatkan potensi bahaya longsor dan krisis air yang bisa timbul akibat pengambilan air tanah secara masif.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh laporan banjir berulang di Subang dalam beberapa tahun terakhir, yang diduga berkaitan dengan perubahan tata air dan degradasi lingkungan.
Air Gratis, Bisnis Miliaran Sorotan atas Transparansi Industri
Selain isu lingkungan, Dedi juga menyoroti aspek keadilan ekonomi. Ia menyebut bahwa perusahaan AMDK mendapatkan bahan baku air secara gratis dari sumber daya alam milik publik, berbeda dengan industri lain yang harus membeli bahan baku.
“Air ini milik rakyat. Tapi perusahaan bisa ambil gratis, lalu dijual dengan harga tinggi. Harus ada audit dan kejelasan,” ujarnya.
Pernyataan ini memantik diskusi tentang regulasi dan pengawasan terhadap industri AMDK, yang selama ini dianggap kurang transparan dalam hal izin pengambilan air dan kontribusi terhadap masyarakat sekitar.
Klarifikasi Perusahaan Akuifer Dalam dan Kajian Ilmiah
Menanggapi viralnya video tersebut, pihak Danone Indonesia selaku produsen Aqua memberikan klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa air yang digunakan bukan berasal dari air permukaan seperti sungai atau mata air dangkal, melainkan dari akuifer dalam lapisan pembawa air yang berada di bawah tanah dan terlindungi secara alami.
Menurut mereka, sumber air ini merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan yang telah terfilter secara alami oleh batuan dan tanah. Pengambilan air dilakukan secara terkendali, telah melalui kajian ilmiah, dan memiliki izin resmi (SIPA) yang diawasi oleh instansi terkait.
Namun, klarifikasi ini belum sepenuhnya meredakan kekhawatiran publik, terutama karena istilah “air pegunungan” tetap digunakan dalam branding, yang dinilai menyesatkan.
Desakan Audit dan Revisi Narasi Publik
Polemik ini memicu desakan dari berbagai pihak, termasuk LSM, akademisi, dan anggota parlemen, agar pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap praktik pengambilan air tanah oleh industri AMDK.
Masyarakat menuntut transparansi penuh, revisi terhadap narasi iklan, dan kejelasan kontribusi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Isu ini menjadi pengingat bahwa air bukan sekadar komoditas, melainkan hak publik dan aset ekologis yang harus dijaga bersama.
Refleksi Antara Branding dan Realitas
Kasus Aqua Subang membuka tabir tentang bagaimana branding bisa membentuk persepsi yang jauh dari kenyataan. Di tengah krisis iklim dan ketimpangan akses air bersih, pertanyaan tentang siapa yang berhak atas air dan bagaimana air dikelola menjadi semakin relevan.
Sidak Dedi Mulyadi bukan sekadar kunjungan, tetapi sebuah panggilan untuk membuka mata: bahwa di balik kemasan biru yang tampak sejuk, ada cerita panjang tentang eksploitasi, regulasi, dan tanggung jawab bersama.










