Mengangkat Batang Terendam Kampung Dulmuluk Warisan yang Terkoyak oleh Komodifikasi

0
160

Oleh: Dr. Dedi Irwanto, MA Dosen Sejarah FKIP Unsri

PALEMBANG,LogikaIndonesia.Com – Kampung Dulmuluk bukan sekadar titik geografis di tepian Sungai Musi. Ia adalah jantung kebudayaan Palembang—melahirkan teater rakyat Dulmuluk yang bukan hanya seni pertunjukan, tetapi cermin identitas dan perlawanan kultural masyarakat Sumatera Selatan. Ironisnya, upaya “mengangkat batang terendam”—menghidupkan kembali warisan yang lama tenggelam—justru terjebak dalam tarik-ulur kepentingan antara Dinas Kebudayaan (Disbud) dan Dinas Pariwisata (Dispar).

Dinas Kebudayaan bicara pelestarian: dokumentasi, pembinaan, pewarisan nilai.
Dinas Pariwisata bicara atraksi: festival, paket wisata, branding destinasi.
Keduanya seolah berjalan di jalur paralel yang tak pernah bertemu. Yang satu membangun panggung, yang lain menjual tontonan. Hasilnya? Dulmuluk tetap tenggelam, kehilangan ruh, kehilangan arah.

Yang lebih menyedihkan, program revitalisasi panggung oleh Dinas Kebudayaan seringkali tak bersambung dengan festival wisata yang digelar Dinas Pariwisata. Komunitas asli terpinggirkan, anggaran terserap dalam seremoni sesaat, dan legitimasi diperebutkan tanpa hasil nyata bagi warga Kampung Dulmuluk. Ini bukan sinergi, ini sabotase kultural.

Inilah anomali yang Menyakitkan: Batang yang hendak diangkat justru makin dalam terbenam.

Identitas Kampung Dulmuluk hanya dijadikan “kulit” untuk kepentingan promosi. Padahal yang harus dihidupkan adalah “isi”: komunitas, tradisi, nilai. Jika Dulmuluk hanya diperlakukan sebagai atraksi wisata, maka ia akan menjadi tontonan kosong—tanpa makna, tanpa jiwa.

Ketidaksinkronan ini harus dihentikan. Disbud dan Dispar tak bisa terus saling membelakangi.
Disbud wajib menjaga otentisitas budaya. Dispar harus belajar mengemas warisan tanpa menggerus esensinya. Sinergi bukan pilihan, tapi keharusan. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan kematian perlahan dari warisan yang seharusnya hidup.

Kampung Dulmuluk butuh strategi menyeluruh:
– Revitalisasi panggung seni yang berakar pada komunitas
– Ekonomi kreatif yang memberdayakan warga
– Kurikulum budaya di sekolah
– Promosi wisata yang berpihak pada pelaku budaya, bukan sekadar pasar

Sejarah Palembang telah membuktikan: sungai dan budaya adalah nadi peradaban.
Jangan biarkan batang terendam hanya menjadi proyek tambal sulam yang dangkal. Pemerintah daerah harus sadar pelestarian budaya bukan urusan estetika, tapi investasi jangka panjang untuk identitas dan daya saing kota.

Kampung Dulmuluk bukan produk. Ia adalah warisan.
Dan warisan tak bisa dijual murah. Ia harus diangkat bersama—oleh kebijakan yang sinkron, anggaran yang berpihak, dan kesadaran bahwa budaya adalah jiwa. Bukan komoditas.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini