LOKADANA Arisan Gerakan Sipil Menjawab Krisis Demokrasi

0
19

LogikaIndonesia.Com — Di tengah gelombang kemunduran demokrasi dan krisis pendanaan yang menekan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia, sebuah inisiatif baru muncul sebagai harapan: LOKADANA. Bukan sekadar skema hibah, LOKADANA adalah ruang politik partisipatif yang dibangun dari akar rumput, untuk akar rumput.

Demokrasi yang Terdesak, Pendanaan yang Tercekik

Selama satu dekade terakhir, ruang gerak masyarakat sipil di Indonesia terus menyempit. Laporan dari BTI, Freedom House, dan V-DEM menunjukkan penurunan tajam dalam kualitas demokrasi. Kebebasan sipil melemah, lembaga pengawasan rapuh, dan polarisasi politik semakin dalam. Pemilu 2024 bahkan dinilai mempercepat erosi demokrasi melalui kontrol institusi dan manipulasi kampanye.

Di sisi lain, OMS lokal menghadapi krisis pendanaan. Status Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah membuat donor internasional mengalihkan dukungan ke lembaga besar. Sementara itu, pendanaan domestik cenderung berpihak pada agenda kekuasaan atau pasar, menyulitkan organisasi kecil yang bekerja kritis mendampingi komunitas.

LOKADANA Pendanaan sebagai Gerakan

LOKADANA hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Dirancang oleh Jejaring Lokadaya yang menaungi 408 OMS di 38 provinsi platform ini menawarkan mekanisme hibah partisipatif yang sederhana, fleksibel, dan berakar pada kebutuhan komunitas.

“LOKADANA bukan sekadar skema hibah. Ini adalah ruang politik yang kami bangun bersama untuk memastikan komunitas tetap punya suara, punya daya, dan punya pilihan,” tegas Ketua Jejaring Lokadaya dalam peluncuran daring pada 30 September 2025.s

Dengan prinsip gotong royong, LOKADANA mengajak organisasi, komunitas, dan individu untuk saling menopang. Seperti arisan, proses perencanaan hingga evaluasi hibah dilakukan secara kolektif, menempatkan komunitas sebagai pusat pengambilan keputusan.

Peluncuran Siklus I Panggilan untuk Akar Rumput

Peluncuran LOKADANA ditandai dengan dibukanya Panggilan Hibah Mikro Siklus I, didukung oleh Uni Eropa melalui program CO-EVOLVE 2. Program ini menyasar kelompok perempuan, pemuda, dan komunitas akar rumput yang selama ini tersisih dari mekanisme pendanaan formal.

Diskusi peluncuran bertajuk “Hibah Itu Mestinya Menguatkan dan Memberdayakan” menghadirkan Tino Yosephyn (Lokadaya), Adam Kurniawan (Balang Institute), dan Nurul Saadah (YAPDA Yogyakarta). Diikuti oleh 240 perwakilan organisasi dari 38 provinsi, diskusi ini menggambarkan urgensi dan semangat kolektif untuk membalik logika lama pendanaan.

Fakta Krisis Demokrasi dan Dana yang Menyusut

Adam Kurniawan menyoroti indikator kemunduran demokrasi: regulasi yang membatasi partisipasi warga, melemahnya kebebasan sipil, dan lemahnya lembaga pengawasan. “Setelah aksi massa 17+8, lebih dari 6.700 orang ditahan. Ini gambaran nyata bahwa ruang demokrasi makin mengecil,” ujarnya.

Sementara itu, Nurul Saadah mengungkapkan bahwa 75% OMS kesulitan menutupi biaya operasional, dan 57% terhambat oleh syarat administratif berlapis. “Kelompok kritis yang mendampingi komunitas justru sulit mengakses dukungan,” katanya.

Dari Komunitas, Untuk Komunitas

LOKADANA membalik logika lama pendanaan masyarakat sipil. Jika sebelumnya bergantung pada donor luar, kini komunitas membangun mekanisme sendiri. Dana awal sebesar Rp 36 juta telah terhimpun dan digunakan untuk hibah darurat.

“LOKADANA ibarat arisan masyarakat sipil,” ujar Tino Yosephyn. “Ia adalah instrumen politik untuk menjaga kedaulatan, relevansi, dan keberlanjutan gerakan.”

Ilham Majid dari Sophia Nusantara, Merauke, menyebut LOKADANA sebagai harapan baru bagi OMS di Tanah Papua yang tengah berjuang menghadapi proyek Food Estate. “Harapannya, organisasi masyarakat sipil bisa menjalankan agenda sendiri tanpa bergantung pada mekanisme pendanaan dari luar,” ujarnya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini