PALEMBANG, LogikaIndonesia.Com — Di tengah gemerlap kota yang terus tumbuh, sebuah momen sunyi namun penuh makna terjadi di Rumah Dinas Wali Kota Palembang. Sehelai kain songket berusia lebih dari seratus tahun, Songket Limar Bunga Cogan, akhirnya kembali ke tanah kelahirannya setelah puluhan tahun tersimpan di loteng sebuah rumah di Australia. Bukan sekadar kain, ia adalah warisan, simbol cinta, dan pengingat akan kejayaan budaya Palembang yang nyaris terlupakan.
Sebuah Songket Limar Bunga Cogan berukuran 80×200 sentimeter yang dibuat dengan benang emas serta teknik tenun tradisional Palembang yang sangat halus diperkirakan berusia lebih dari satu abad. Kain ini sebelumnya tersimpan di kediaman Pete Muskens (70), warga Australia keturunan Belanda, yang mewarisinya dari sang ayah. Penyerahan kain bersejarah tersebut disertai penandatanganan hibah resmi dari Pete kepada Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, di Rumah Dinas Wali Kota Palembang, Rabu (29/10/2025). Momen ini disaksikan langsung oleh Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja SH MKn, pustakawan Ahmad Subhan SIP MIP, sejarawan Dr Dedi Irwanto MA, dan Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang Drs Kgs H Sulaiman Amin.
Turut hadir pula sejumlah tokoh kebudayaan dan publik Palembang: Kepala BPK Wilayah VI Sumatera Selatan Kristanto Januardi S.S, Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Affan Prapanca, budayawan Vebri Al Lintani, seniman Ali Goik dan Isnayanti Safrida, Ketua Dewan Kesenian Palembang M. Nasir, sejarawan Dr Kemas Ar Panji MSi, tokoh adat M. Ali Hanafiah, Kepala Museum Pahlawan Nasional dr AK Gani GI Priyanti Gani, serta para kreator dan pegiat budaya seperti Hidayatul Fikti (Mang Dayat), Andie Pedo, Genta, dan pengacara Iskandar Sabani.
Dari Taplak Meja ke Panggung Sejarah
Pete mengisahkan bahwa songket itu diwariskan oleh ayahnya, seorang pengacara Belanda yang tinggal di Indonesia antara tahun 1945–1951. Kain itu diberikan oleh seorang pilot Belanda sebagai pelunasan hutang pada tahun 1949. “Orang tua saya berpesan, ini kain songket dari Palembang, tolong disimpan baik-baik,” kenang Pete. Tanpa menyadari nilai budayanya, kain itu tersimpan di loteng selama lebih dari tiga dekade.
Segalanya berubah saat Pete berkunjung ke Sumatera Barat pada Mei 2025. Ia melihat kain serupa dipamerkan di museum dan rasa ingin tahunya membuncah. Setelah menelusuri jejak kain tersebut dan berkomunikasi dengan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Pete menyadari bahwa kain miliknya adalah Songket Limar Bunga Cogan — warisan budaya tak benda Indonesia yang berasal dari Palembang.
“Saya merasa ini waktunya mengembalikannya ke tempat asalnya. Di sinilah seharusnya kain ini berada,” ucap Pete, matanya berkaca-kaca.
Warisan yang Menghidupkan Jati Diri
Sultan SMB IV menyambut pengembalian kain ini sebagai bukti bahwa warisan budaya Palembang masih dihargai hingga mancanegara. “Alhamdulillah, orang-orang di luar negeri masih menghargai nilai sejarah dan budaya kita,” ujarnya. Ia berharap momen ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Palembang untuk turut menghibahkan benda-benda warisan keluarga agar dapat dirawat dan dipamerkan bagi generasi penerus.
“Songket ini tidak hanya kain, tapi cerminan sejarah dan nilai estetika tinggi yang pernah hidup di masa lampau,” tambahnya.
Apresiasi Pemerintah Kota Koleksi yang Menyambung Generasi
Wali Kota Ratu Dewa pun menyampaikan apresiasi mendalam. “Songket Limar Bunga Cogan bukan sekadar karya seni, tetapi juga bukti peradaban tinggi masyarakat Palembang,” tegasnya. Pemerintah kota akan menempatkan kain ini sebagai koleksi tetap di Museum SMB II, agar publik dapat menyaksikan keindahan dan makna filosofis di baliknya.
“Dengan tambahan koleksi bersejarah ini, kami berharap museum menjadi lebih hidup dan menarik minat wisatawan, serta menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap warisan budayanya sendiri,” pungkasnya.
Jejak Kemewahan dan Status Sosial
Ilham Zhuliansyah, Ketua MPIG Songket Palembang, menjelaskan bahwa Songket Limar Bunga Cogan dibuat pada awal abad ke-20 dan hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan. “Limarnya bermotif bunga cogan dengan benang emas jantung. Nilai sejarah dan sosialnya sangat tinggi,” jelasnya.
Dalam tradisi Palembang, songket bukan sekadar busana. Ia adalah simbol status, kehalusan budi, dan spiritualitas. Setiap helai benangnya menenun kisah kejayaan masa lampau masa ketika seni, adat, dan estetika berpadu dalam harmoni.
Kain sebagai Arsip Emosional
Dr. Dedi Irwanto, sejarawan yang turut hadir dalam penyerahan kain, menekankan pentingnya melihat songket bukan hanya sebagai benda seni, tetapi sebagai arsip emosional dan sosial. “Songket ini bukan sekadar artefak, ia adalah narasi yang hidup. Ia menyimpan jejak relasi antarbangsa, memori keluarga, dan dinamika sosial kolonial yang jarang terdokumentasikan,” ujarnya.
Menurut Dedi, pengembalian kain ini membuka ruang baru bagi studi sejarah budaya yang lebih partisipatif. “Kita perlu mulai membaca sejarah bukan hanya dari dokumen resmi, tapi juga dari benda-benda yang pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Songket ini adalah pintu masuk untuk memahami Palembang dari dalam,” tambahnya.
Simbol Cinta yang Kembali Pulang
Kembalinya Songket Limar Bunga Cogan ke Palembang bukan hanya peristiwa budaya, tetapi juga perjalanan emosional yang meneguhkan jati diri bangsa. Di tengah arus globalisasi, kain ini menjadi pengingat bahwa akar budaya adalah fondasi dari setiap kemajuan.
Kini, ia tak lagi menjadi benda asing di negeri orang. Ia telah pulang sebagai warisan yang hidup, bernafas, dan bercerita tentang kebesaran Palembang. Seorang budayawan Palembang menyimpulkannya dengan indah
“Setiap helai benang emasnya menenun kembali kebanggaan kita.”
Warisan yang Menyambung Generasi
Kehadiran para tokoh budaya, seniman, sejarawan, dan masyarakat dalam momen ini menjadi penanda bahwa warisan bukanlah milik masa lalu semata. Ia adalah jembatan antar generasi, pengingat bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupkan kembali.
Selembar kain, sejuta makna dan kini, ia telah pulang ke rumahnya.







