LogikaIndonesia.Com — Di tengah keteduhan pepohonan kompleks makam Pangeran Sido Ing Rejek, sebuah semangat lama kembali menyala semangat menggali sejarah yang nyaris terlupakan. Bukan oleh sejarawan profesional, melainkan oleh para guru sejarah dari Kabupaten Ogan Ilir yang kini menjadi peneliti akar budaya mereka sendiri. Dipandu oleh Tim Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya (Unsri), mereka menelusuri jejak Marga Sakotigo, menyusun ulang narasi lokal, dan mengemasnya dalam format digital yang inovatif.
Kegiatan bertajuk “Pembuatan Bahan Ajar History E-Magazine Berbasis Wakelet Materi Sejarah Lokal Marga Sakotigo dan Pangeran Sido Ing Rejek” ini merupakan bagian dari Program Pengabdian Kepada Masyarakat Skema Berbasis Masyarakat Unsri Tahun 2025. Di bawah kepemimpinan Dr. Dedi Irwanto, tim yang terdiri dari Prof. Farida, Dr. Syafruddin Yusuf, Dr. Agustina Bidarti, dan Taofiq Kurrahman, M.Hum., mengajak para guru untuk tidak hanya mengajar sejarah, tetapi juga menulisnya kembali.
Guru Sebagai Peneliti Sejarah Daerahnya
“Guru harus menjadi peneliti sejarah daerahnya sendiri,” tegas Dr. Dedi Irwanto saat membuka kegiatan. Menurutnya, pembelajaran sejarah yang bermakna tidak bisa hanya bersandar pada buku paket. Ia harus hidup, berakar, dan berdenyut dalam pengalaman lokal.
Para peserta diajak melakukan riset lapangan mengobservasi situs sejarah, mewawancarai narasumber lokal, dan menulis kisah Marga Sakatiga yang berkaitan erat dengan peninggalan makam Pangeran Sido Ing Rejek. “Kami ingin guru-guru ini menjadi penutur sejarah yang otentik, bukan sekadar pengulang narasi nasional,” tambahnya.
Sejarah Lokal Cermin Identitas dan Kearifan
Prof. Farida, Guru Besar Pendidikan Sejarah Unsri, menekankan bahwa sejarah lokal adalah cermin identitas dan kearifan daerah. “Ketika siswa belajar sejarah yang dekat dengan asal-usul mereka, mereka tidak hanya belajar masa lalu, tetapi juga memahami nilai-nilai yang membentuk komunitas mereka,” ujarnya.
Namun, tantangan besar masih membayangi minimnya sumber tertulis membuat banyak guru kesulitan menyusun materi sejarah lokal. Di sinilah peran universitas menjadi krusial membuka akses, membimbing riset, dan menyediakan platform digital yang memudahkan.
Wakelet Menjembatani Sejarah dan Teknologi
Dr. Agustina Bidarti memperkenalkan Wakelet, sebuah platform digital yang memungkinkan guru merancang e-magazine sejarah lokal secara interaktif. “Wakelet menjadikan sejarah lebih dekat dengan siswa era digital. Mereka bisa mengaksesnya lewat ponsel, membaca kisah leluhur mereka, dan merasa bangga,” jelasnya.
Dr. Syafruddin Yusuf dan Taofiq Kurrahman menambahkan bahwa kreativitas guru dalam menyusun bahan ajar kontekstual adalah kunci inovasi. “Potensi sejarah lokal seperti kisah Marga Sakatiga dan Pangeran Sido Ing Rejek sangat kaya. Sayang jika hanya tersimpan di ingatan warga tua,” kata Syafruddin.
Menyusuri Jejak Sejarah Rumah Pasirah dan Makam Pangeran
Kegiatan lapangan membawa peserta ke Rumah Pasirah Pangeran Syafi’i Jayadiningrat, bangunan bersejarah dari tahun 1923, dan makam Pangeran Sido Ing Rejek—satu-satunya Sultan Palembang yang dimakamkan di luar Kota Palembang.
Riska Pria Utama, Ketua MGMP Sejarah Ogan Ilir, mengungkapkan kekagumannya. “Sayang kalau rumah ini roboh. Pemda Ogan Ilir sebaiknya menetapkannya sebagai Cagar Budaya dan menjadikannya Museum Caram Seguguk OI,” ujarnya penuh harap.
Tedi Suhandika, peserta lainnya, mengaku terharu setelah mengetahui kisah sang pangeran. “Ini penting dipelajari agar siswa memahami sejarah Palembang dan Ogan Ilir secara utuh,” katanya.
Menumbuhkan Kebanggaan dan Literasi Sejarah Digital
Kegiatan ini bukan hanya soal pelatihan, tetapi juga tentang membangkitkan kebanggaan daerah dan kesadaran sejarah. “Kami ingin agar pembelajaran sejarah di sekolah tidak sekadar hafalan, tetapi menjadi sarana membangun identitas, kebanggaan daerah, dan literasi sejarah digital,” tutup Dr. Dedi Irwanto.
Para guru MGMP Sejarah se-Ogan Ilir pun merasakan manfaatnya. Muzzakir Riza, salah satu peserta, menyampaikan bahwa pelatihan ini membuka wawasan baru. “Beberapa konsep lokal seperti asal-usul kata Sakatiga—suketige, suku tiga: Penesak, Belide, dan Mataram—selama ini luput kami ajarkan. Padahal sangat penting untuk membentuk kebangaan daerah di kalangan siswa,” pungkasnya.







