FORWIDA Sumsel Hidupkan Kembali Napas Kerajinan Tradisional

0
6

Dari bengkel pandai besi hingga tenunan kain gabeng, FORWIDA Sumatera Selatan mengajak generasi muda menyelami keindahan dan perjuangan di balik warisan budaya Ogan Ilir.

LogikaIndonesia.Com Di tengah derasnya arus globalisasi dan gempuran budaya populer digital, tradisi dan kearifan lokal sering kali terpinggirkan. Namun di beberapa sudut Sumatera Selatan, masih ada ruang yang berdenyut pelan tetapi pasti—ruang tempat tangan-tangan tua dan muda mencipta karya dari warisan leluhur. Dua desa di Kabupaten Ogan Ilir, yakni Desa Tanjung Batu dan Desa Tanjung Pinang, menjadi bukti bahwa kebudayaan tradisional tak pernah benar-benar mati, hanya menunggu untuk kembali disapa.

Minggu (26/10/2025), Forum Pariwisata dan Budaya (FORWIDA) Sumatera Selatan melakukan kunjungan ke dua desa pengrajin tersebut. Kunjungan ini bukan sekadar agenda rutin, melainkan bagian dari program wisata budaya dan pendataan pengrajin lokal yang akan dilibatkan dalam Festival Lokal Karya dan Pameran Budaya pada November mendatang.

Sebanyak 26 peserta turut serta dalam perjalanan budaya ini. Mereka datang dari berbagai latar belakang—pegiat pariwisata, akademisi, seniman, hingga pemerhati budaya. Tujuannya satu: menyelami denyut kehidupan para pengrajin yang menjadi benteng terakhir warisan budaya lokal.

Suara Palu dan Tenunan Waktu

Di bengkel-bengkel sederhana, suara dentingan palu berpadu dengan aroma logam panas. Di pojok desa lain, selembar kain gabeng tergantung di alat tenun, menunggu sentuhan tangan-tangan sabar yang menenunnya dengan ritme yang seperti doa.

Para pengrajin perak, pandai besi, pembuat kain gabeng, hingga perajin aksesori pernikahan adat Palembang seperti paksangko, gandik, dan aesan gede, menjadi saksi bahwa tradisi masih hidup di tengah modernitas. Mereka bekerja tanpa gegap gempita, namun dengan semangat yang membara.

Namun di balik keindahan karya mereka, tersimpan kenyataan yang getir. Beberapa pengrajin bercerita tentang makin langkanya generasi muda yang mau belajar, naiknya harga bahan baku, dan minimnya dukungan dalam hal pemasaran maupun pelatihan. Banyak yang menggantungkan harapan pada kegiatan seperti yang diinisiasi FORWIDA ini, agar hasil karya mereka tak hanya dikenal, tetapi juga dihargai dan dibeli.

“Kami Ingin Melihat Langsung”

Ketua FORWIDA Sumsel, Dr. Ir. Diah K. Pratiwi, MT, menegaskan pentingnya terjun langsung ke lapangan untuk memahami realitas yang dihadapi para pelaku budaya.

“Kami ingin melihat sendiri bagaimana para pengrajin bekerja, apa saja tantangan mereka, dan sejauh mana dukungan pemerintah hadir dalam menjaga keberlanjutan industri kreatif lokal,” ujarnya dengan penuh semangat.

Menurutnya, kunjungan ini menjadi bagian dari upaya membangun ekosistem budaya yang berkelanjutan. Pendataan bukan hanya soal nama dan alamat pengrajin, tetapi juga pemetaan potensi—bagaimana kreativitas lokal bisa diintegrasikan ke dalam pariwisata, pendidikan, dan ekonomi kreatif.

Dr. Diah juga mengungkapkan bahwa Festival Lokal Karya dan Pameran Budaya mendatang akan menjadi panggung apresiasi bagi para pengrajin. “Kami ingin generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, mengenal langsung bagaimana proses sebuah karya tradisional lahir. Ada nilai ketekunan, kebersamaan, dan filosofi hidup yang terkandung di dalamnya,” tambahnya.

Dari Warisan ke Wawasan

Festival budaya yang sedang disiapkan FORWIDA bukan sekadar ajang pameran, tetapi juga ruang edukasi interaktif. Nantinya, para pengunjung tidak hanya melihat hasil jadi, tetapi bisa mencoba langsung proses pembuatannya—menempa logam, menenun kain, atau merangkai aksesori adat.

Bagi FORWIDA, pelestarian budaya bukan hanya tentang menjaga bentuk, tetapi juga menyalakan kembali semangatnya di tengah masyarakat. Upaya ini selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan: menjaga yang lama, sambil memberi ruang bagi yang baru untuk tumbuh.

“Kalau kita bisa mengemas budaya dengan pendekatan yang relevan, maka tradisi tidak akan terasa kuno. Ia bisa menjadi inspirasi dan sumber ekonomi,” ujar salah satu peserta, seorang pengrajin muda dari Palembang yang turut serta dalam kegiatan tersebut.

Menghidupkan Kembali yang Nyaris Redup

FORWIDA percaya bahwa warisan budaya tidak seharusnya terkurung di museum atau hanya muncul di panggung seremonial. Ia harus hidup—dalam keseharian masyarakat, dalam ekonomi desa, dalam kebanggaan identitas.

Melalui kunjungan ini, organisasi tersebut berupaya menghubungkan rantai yang sempat putus: antara pengrajin dan pasar, antara tradisi dan modernitas, antara masa lalu dan masa depan.

Ketika sore mulai turun di Tanjung Batu, cahaya matahari yang menembus sela-sela bambu bengkel pandai besi seakan menyoroti simbol harapan itu. Di tengah denting palu yang masih terdengar, para pengrajin tersenyum menyambut tamu-tamu yang datang bukan sekadar menonton, tetapi juga menghargai.

Dan mungkin, di sanalah letak kekuatan sejati pelestarian budaya: bukan pada megahnya acara, melainkan pada tatap mata yang saling memahami antara pewaris dan pelanjut tradisi.

Tradisi, sebagaimana dikatakan Dr. Diah, tidak akan hilang selama ada yang peduli untuk kembali menengoknya.
Dan hari itu, di dua desa kecil di Ogan Ilir, tradisi bukan sekadar dikenang ia dihidupkan kembali.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini