PALEMBANG, LogikaIndonesia.com – FOMO atau fear of missing out telah menjadi salah satu fenomena sosial yang begitu kuat memengaruhi kehidupan generasi muda saat ini. Kehadiran media sosial yang selalu menampilkan tren terbaru, gaya hidup orang lain, hingga kabar yang sedang viral, membuat banyak anak muda merasa cemas jika tidak bisa ikut serta di dalamnya. Rasa takut tertinggal inilah yang kemudian mendorong mereka untuk terus mengikuti arus, meskipun sering kali tanpa pertimbangan matang. Perasaan ini bukan hanya sekadar rasa ingin tahu, melainkan sudah berkembang menjadi dorongan emosional yang membentuk cara berpikir dan bertindak.
Fenomena ini memunculkan dampak signifikan pada pola konsumsi. Banyak generasi milenial dan gen Z yang membeli barang, menggunakan jasa, atau bahkan mencoba pengalaman tertentu hanya karena takut ketinggalan, bukan karena kebutuhan nyata. Misalnya, tren produk viral, konser musisi populer, hingga makanan atau minuman kekinian yang ramai dibicarakan. Dorongan untuk ikut serta sering kali lebih kuat daripada pertimbangan rasional. Hal ini kemudian melahirkan budaya konsumtif yang cenderung boros, bahkan dalam banyak kasus memicu timbulnya hutang karena gaya hidup yang dipaksakan.
FOMO juga menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis. Strategi pemasaran modern kerap menggunakan prinsip menciptakan rasa takut kehilangan kesempatan, seperti penawaran terbatas, diskon kilat, atau produk edisi spesial yang hanya tersedia dalam jumlah tertentu. Taktik ini terbukti efektif karena langsung menyasar sisi psikologis konsumen, membuat mereka merasa harus segera membeli atau akan menyesal kemudian. Dengan demikian, FOMO bukan hanya fenomena sosial, melainkan juga alat ekonomi yang sengaja dipelihara untuk mendorong perilaku konsumtif.
Meski demikian, dampak dari FOMO tidak hanya terbatas pada masalah keuangan. Tekanan mental juga muncul ketika seseorang merasa harus selalu up to date dengan segala hal yang viral. Ada perasaan cemas, gelisah, bahkan rendah diri jika tidak mampu mengikuti standar sosial yang ditampilkan di media. Kondisi ini dapat menurunkan kepercayaan diri, memicu stres, dan dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kesehatan mental generasi muda. Oleh karena itu, FOMO sesungguhnya adalah fenomena yang lebih kompleks daripada sekadar tren ikut-ikutan.
Menghadapi FOMO membutuhkan kesadaran kolektif maupun individu. Generasi muda perlu membangun kemampuan untuk memilah informasi, memperkuat literasi finansial, dan menanamkan pola pikir kritis agar tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial. Mengikuti perkembangan zaman tentu penting, tetapi harus diimbangi dengan prioritas yang jelas serta pengendalian diri yang matang. Dengan cara ini, FOMO tidak lagi menjadi jebakan yang merugikan, melainkan dapat diubah menjadi dorongan positif untuk berkembang tanpa mengorbankan kesehatan mental maupun kestabilan finansial.




