Drama di Balik Pembongkaran Musholah Gedung Kesenian Palembang

0
13

PALEMBANG,LogikaIndonesia.Com – Di jantung Kota Palembang, di antara hiruk-pikuk kendaraan dan gedung-gedung modern yang terus tumbuh, berdiri sebuah bangunan yang dulu menjadi simbol denyut kehidupan seni di Bumi Sriwijaya—Gedung Kesenian Palembang. Tempat ini pernah menjadi rumah bagi beragam ekspresi budaya: dari teater rakyat, pertunjukan tari, musik tradisional, hingga forum diskusi lintas generasi. Namun kini, gedung yang semestinya berisi gema tepuk tangan dan alunan gamelan itu justru menyimpan kisah getir tentang perebutan ruang, lemahnya tata kelola, dan nasib ruang budaya yang terpinggirkan.

Ketika Panggung Seni Beralih Fungsi

Beberapa bulan terakhir, Gedung Kesenian Palembang tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Lobi yang dahulu penuh aktivitas para seniman kini berubah menjadi ruang kerja pegawai Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Palembang. Dinas ini menempati gedung kesenian karena kantor utama mereka sedang direhabilitasi.

Namun, alih-alih hanya menumpang dengan kesadaran bahwa mereka berada di ruang yang memiliki nilai historis dan kultural, kehadiran mereka justru menimbulkan ketegangan. “Gedung itu seperti kehilangan jiwanya,” ujar Sonop seorang pelaku seni yang biasa berlatih di sana. “Dulu kami datang membawa ide dan semangat, sekarang hampir seluruh ruangan mau mereka kuasai.

Ketegangan di Ruang Ibadah

Klimaks dari ketegangan itu pecah pada Minggu, 12 Oktober 2025, pukul 18.10 WIB. Sejumlah pegawai dinas dilaporkan membuka paksa musholah yang berada di dalam kompleks gedung. Musholah tersebut sebenarnya belum melalui proses serah terima resmi, karena masih dalam perawatan dan pengelolaan pihak bank Sumsel Babel ke Dinas Kebudayaan.

Namun sore itu, tanpa izin, beberapa orang masuk melalui jendela “Jendelanya dirusak, mereka masuk tanpa izin,” tutur seorang saksi mata yang juga petugas gedung kesenian di lokasi. “Padahal musholah itu belum diserahterimakan.”

Aksi itu memicu kemarahan banyak pihak. Tak hanya dianggap sebagai pelanggaran prosedur, tetapi juga menyentuh ranah sakral—karena musholah bukan sekadar ruangan fisik, melainkan simbol spiritualitas di tengah ruang budaya.

“Dulu AC dihidupkan seenaknya untuk mereka tidur, sekarang musholah pun dirusak,” ujar Sonop, salah satu seniman yang kerap beraktivitas di gedung itu. “Ini bukan hanya soal fasilitas, tapi soal rasa hormat terhadap ruang dan nilai.”

Gedung Kesenian: Penjaga Peradaban yang Terancam

Bagi banyak seniman Palembang, gedung ini bukan sekadar tempat pertunjukan. Ia adalah penjaga peradaban, ruang di mana kreativitas bertemu dengan sejarah, tempat di mana identitas lokal terus dipertahankan di tengah derasnya arus modernisasi.

“Kalau ruang seni bisa dialihfungsikan begitu saja, apa jaminan bahwa budaya lokal akan tetap punya tempat di tengah pembangunan?” tanya Genta, seorang seniman muda yang turut memperjuangkan agar gedung itu dikembalikan ke fungsinya semula.

Pertanyaan itu menggantung di udara, menohok kesadaran banyak pihak. Sebab, gedung kesenian bukan hanya milik pemerintah atau seniman—ia milik masyarakat, milik generasi yang akan datang.

Namun realitas hari ini menunjukkan sebaliknya. Tanpa perlindungan kebijakan yang kuat, ruang seni menjadi mudah “diambil alih” atas nama kebutuhan pragmatis. Padahal, sekali ruang budaya kehilangan fungsinya, butuh waktu lama untuk menghidupkannya kembali.

Di Persimpangan Kebijakan dan Kepedulian

Kisah Gedung Kesenian Palembang sejatinya adalah cerminan dilema banyak kota di Indonesia—antara kebutuhan administratif dan tanggung jawab melestarikan warisan budaya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, antara efisiensi dan empati.

Kebijakan yang longgar terhadap pemanfaatan aset budaya membuat ruang seni kerap dianggap “bebas pakai”, tanpa memahami nilai simbolik yang dikandungnya. Dan ketika insiden seperti pembongkaran paksa musholah terjadi, publik baru menyadari betapa rapuhnya tata kelola ruang publik yang seharusnya dijaga bersama.

Ruang yang Harus Kembali Dihidupkan

Di balik segala polemiknya, Gedung Kesenian Palembang menyimpan harapan yang belum padam. Para seniman, budayawan, dan masyarakat sipil mulai menyerukan agar gedung tersebut dikembalikan ke fungsi asalnya—sebagai ruang ekspresi, dialog, dan kreativitas.

“dari semangat kebersamaan hingga seniman dapat merebut gedung ini sehingga ditetapkan menjadi gedung kesenian,” kata Dr Dedi Irwanto Sejarahwan yang ikut merebut Gedung ini. “Kalau kini ia berubah menjadi simbol ketegangan, maka tugas kita adalah mengembalikannya menjadi rumah bersama lagi bagi seniman dan budayawan.”

Karena pada akhirnya, ruang seni bukan sekadar tempat tampil. Ia adalah ruang penyembuh, tempat masyarakat memaknai hidup dan menyalakan harapan. Dan selama masih ada yang memperjuangkannya, Gedung Kesenian Palembang belum benar-benar sunyi.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini