Oleh: Ali Goik
Kesenian Bukan Pelengkap
LogikaIndonesia.Com — Di tengah upaya membangun Indonesia yang inklusif dan berkeadaban, kesenian dan kebudayaan seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan nasional. Namun, dalam praktik Corporate Social Responsibility (CSR), sektor ini masih diperlakukan sebagai pelengkap, bukan prioritas. Padahal, kesenian adalah ruang ekspresi, kritik, dan penguatan identitas kolektif.
Skema J to J Jarak yang Membatasi
Perusahaan besar—baik milik negara, daerah, maupun swasta internasional—memiliki kewajiban untuk menyalurkan CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Sayangnya, pola penyaluran CSR untuk kesenian masih didominasi oleh skema J to J (jalur ke jalur), di mana bantuan disalurkan melalui lembaga perantara sebelum sampai ke komunitas seni. Skema ini sering kali menciptakan jarak antara sumber daya dan kebutuhan nyata di lapangan.
Komunitas Seni sebagai Mitra Profesional
Sudah saatnya CSR untuk kesenian beralih ke pendekatan langsung: business to business (B to B). Dalam pendekatan ini, komunitas seni diposisikan sebagai mitra profesional. Perusahaan menjalin kerja sama langsung dengan sanggar, kolektif budaya, atau organisasi seni yang aktif dan kredibel. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan dan pengakuan terhadap kesenian sebagai sektor strategis.
Program yang Kontekstual dan Berdampak
Kemitraan langsung memungkinkan program CSR menjadi lebih kontekstual dan berdampak. Perusahaan dapat mendukung revitalisasi ruang budaya, pelatihan manajemen seni, atau produksi karya yang mengangkat isu lokal. Ketika seniman dilibatkan sejak tahap perencanaan, maka program tidak hanya berdampak, tetapi juga membangun ekosistem yang berdaya dan berkelanjutan.
Tantangan dan Solusi
Tentu, transisi ini tidak tanpa tantangan. Ada kekhawatiran soal kapasitas administratif komunitas seni, risiko penyalahgunaan dana, atau ketidaksiapan perusahaan memahami dinamika budaya. Namun semua ini bisa dijawab dengan pendampingan, penyusunan standar kemitraan, dan penguatan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator.
CSR sebagai Investasi Kebudayaan
Yang dibutuhkan adalah keberanian institusional untuk mengubah cara pandang terhadap kesenian. CSR bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi peluang untuk membangun relasi yang setara antara kekuatan ekonomi dan kekayaan budaya. Ketika perusahaan berinvestasi dalam kesenian, mereka tidak hanya membangun citra, tetapi juga memperkuat fondasi keberlanjutan sosial.
Membangun Relasi yang Setara
Kesenian tidak boleh terus-menerus diposisikan sebagai pelengkap pembangunan. Ia harus menjadi mitra strategis. Dan itu hanya mungkin jika kita berani meninggalkan skema J to J yang usang, menuju kemitraan langsung yang etis, transparan, dan berdampak.







