Bingko Pedamaran: Jejak Rasa, Pelukan Ibu, dan Warisan dari Dapur Sederhana

0
6

Pedanaran, LOGIKAINDONESIA.COM – Jika ada satu aroma yang bisa mengantar kita pulang ke masa kecil di Pedamaran, itu adalah wangi bingko hangat yang baru diangkat dari cetakan logamnya. Kue mungil yang sederhana ini bukan sekadar camilan—ia menyimpan cerita panjang tentang keluarga besar, tangan-tangan ibu yang sabar, dan pagi-pagi penuh kasih sayang di dapur kayu rumah-rumah panggung.

Di Palembang, bingko lebih dikenal dengan nama gunjing, mirip kue pukis yang manis dan lembut. Namun di Pedamaran, bingko adalah bagian dari identitas lokal, menyatu dalam denyut kehidupan kampung. Hampir di tiap sudut desa, dari warung kecil hingga lapak pinggir jalan, bingko hadir setiap pagi dan sore—hanya seribu rupiah per buah. Murah, namun sarat makna dan memori.

“Sejarah bingko mungkin tak pernah ditulis, tapi dalam ingatan kami, kue ini sudah ada sejak kami kecil, bahkan sebelum itu,” tutur Robinhod Kunut, tetua adat Marga Danau. “Dulu tepung berasnya diisar sendiri, dicetak dengan alat dari logam yang tahan lama, diwariskan dari generasi ke generasi.”

Bingko lahir bukan dari kemewahan, tapi dari kebutuhan. Di masa ketika keluarga dengan sepuluh hingga dua belas anak adalah hal biasa di Pedamaran, para ibu harus kreatif mengolah bahan lokal menjadi pangan bergizi, murah, dan mengenyangkan. Maka muncullah bingko—terbuat dari campuran tepung beras, kelapa, sedikit gula, dan kadang pisang gedah yang dibungkus daun. Inilah bentuk awal diversifikasi pangan ala rakyat, lahir dari dapur sederhana.

“Setiap pagi para ibu bangun sebelum subuh untuk membuat bingko. Sisa dari kebutuhan rumah biasanya dijual, dan anak-anak menjajakan keliling pakai tampah bambu,” kenang Suparman Guluks, tokoh adat lainnya.

Di tahun 70 hingga 90-an, pagi hari di Pedamaran adalah simfoni kecil dari suara anak-anak yang memanggul tampah berisi bingko, lepat, nagosari, dan apam. Mereka berjalan dari rumah ke rumah, dari pukul enam hingga delapan pagi. Uang hasil jualan jadi bekal sekolah, sekaligus membantu ekonomi keluarga.

“Saya mulai bantu jualan bingko sejak SD. Kalau belum habis sampai jam delapan, ya sudah, tinggal tampah di rumah dan langsung lari ke sekolah,” cerita Ayani, pembuat bingko yang kini berjualan di simpang zebra Pedamaran. “Sekarang saya bikin sendiri, resep dari ibu. Tak perlu keliling lagi, cukup jual sore di sini, biasanya habis sebelum magrib.”

Kini, kampung telah berubah. Tak banyak lagi keluarga dengan selusin anak. Tapi bingko tetap hadir, menjadi penanda rasa, penjaga warisan, dan simbol keteguhan perempuan-perempuan kampung. Ia tak lagi dipikul keliling, tapi dijual di pasar dan sudut-sudut jalan. Harganya tetap terjangkau, mulai dari lima ratus hingga seribu rupiah.

Bagi para perantau, bingko adalah penawar rindu. Sebuah rasa yang hanya bisa ditemukan di tanah asal.

“Setiap mudik, yang saya cari pertama pasti bingko. Di Palembang ada, tapi beda rasanya. Bingko di sini lebih gurih, rasa kelapanya kuat, kadang ada pisang gedah, dan dibungkus daun. Aromanya… seperti pelukan ibu,” ungkap Dedi Irwanto, seorang penggemar berat bingko yang kini tinggal di kota Palembang.

Bingko adalah lebih dari sekadar kue. Ia adalah kenangan yang bisa digenggam, aroma yang mengantar pulang, dan warisan rasa yang menolak punah. Di tengah modernitas yang terus melaju, bingko Pedamaran tetap hangat dalam cetakan-cetakan kecilnya—menghidangkan sepotong sejarah, cinta, dan kearifan lokal dalam tiap gigitannya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini