Palembang, LOGIKAINDONESIA.COM – Di jantung Kota Palembang, di antara deru kendaraan dan bayang-bayang kemegahan masa lalu, berdiri bangunan mangkrak yang dulunya simbol geliat ekonomi rakyat: Pasar Cinde. Dinding-dinding beton yang belum rampung itu kini tak hanya menyimpan puing proyek yang gagal, tapi juga membungkus kisah kusut birokrasi, ambisi kekuasaan, dan jerat hukum yang akhirnya menelan nama besar seorang mantan wali kota.
Senin 7 Juli 2025, publik Palembang digemparkan oleh kabar penetapan Harnojoyo, mantan Wali Kota Palembang dua periode, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek revitalisasi Pasar Cinde. Penetapan ini diumumkan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, yang sejak lama menyelidiki proyek ambisius yang kini berubah menjadi monumen kegagalan tersebut.
- Harnojoyo dibawah ke Rutan Pakjo Palembang
Pasar Cinde: Dari Ikon ke Ironi
Dulu, Pasar Cinde adalah denyut ekonomi masyarakat Palembang—tempat para pedagang menggantungkan hidup, dan tempat warga bertemu dengan denyut kota yang sesungguhnya. Namun seiring waktu, niat pemerintah kota untuk merevitalisasi pasar itu justru membuka bab baru yang lebih muram.
Revitalisasi Pasar Cinde dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Kota Palembang dan PT Magna Beatum. Tapi proyek yang diharapkan selesai dalam hitungan tahun itu berubah menjadi bangunan tak berpenghuni, dengan kerangka beton yang mencakar langit tanpa arah. Pedagang dipindahkan. Aktivitas ekonomi terhenti. Dan warga hanya bisa menyaksikan reruntuhan harapan.
Jerat Hukum dan Modus Korupsi
Penyidikan Kejati Sumsel mengungkap bahwa Harnojoyo diduga memerintahkan pemotongan 50 persen Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pihak pengembang. Nilai BPHTB yang seharusnya mencapai Rp2,2 miliar, hanya dibayarkan Rp1,1 miliar. Potongan ini dinilai tanpa dasar hukum yang sah dan menjadi dugaan awal kerugian negara akibat pengelolaan aset publik yang tidak transparan.
Asisten Pidana Khusus Kejati Sumsel, Umaryadi, menyebut tindakan itu melanggar prinsip tata kelola yang baik, terutama dalam proyek yang melibatkan kepentingan publik secara luas.
Daftar Nama dalam Pusaran
Sebelum Harnojoyo, sudah empat orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Nama-nama besar yang turut terseret antara lain:
Alex Noerdin, mantan Gubernur Sumsel
Edi Hermanto, Ketua Panitia Pengadaan Mitra Kerja Sama
Raimar Yousnandi, Kepala Cabang PT Magna Beatum
Aldrin Tando, Direktur PT Magna Beatum (yang saat ini berada di luar negeri)
Dengan masuknya Harnojoyo ke dalam daftar, total tersangka kini menjadi lima orang—sebuah sinyal kuat bahwa kasus ini tak akan berakhir di pinggiran.
Rompi Merah Muda dan Permintaan Maaf
Sore itu, di tengah kerumunan wartawan dan kilatan kamera, Harnojoyo muncul dari ruang pemeriksaan dengan rompi tahanan berwarna merah muda. Tatapannya tenang namun berat. Di depan media, ia melontarkan kalimat singkat namun sarat makna.
“Saya mohon maaf kepada warga Palembang. Ini mungkin salah satu bentuk tanggung jawab saya sebagai pemimpin.”
Ucapan itu menandai babak baru: seorang mantan pemimpin yang kini harus mempertanggungjawabkan kebijakan yang pernah ia ambil di masa jabatannya.
Lebih dari Sekadar Proyek Gagal
Lebih dari sekadar perkara hukum, kisah Pasar Cinde adalah refleksi dari wajah kota yang sedang kehilangan arah. Pembangunan yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat, justru dijadikan kendaraan politik dan bisnis.
Kini, masyarakat Palembang bukan hanya menanti keadilan hukum, tetapi juga menagih janji: kapan Pasar Cinde benar-benar dibangun kembali? Kapan keadilan bagi pedagang kecil yang tersingkirkan itu diwujudkan? Dan kapan kota ini akan bebas dari bayang-bayang penguasa yang bermain dalam senyap?
Menulis Ulang Masa Depan
Pasar Cinde mungkin belum selesai dibangun, tetapi kisahnya sudah menjadi catatan penting bagi sejarah Kota Palembang. Sebuah pengingat bahwa tata kelola pemerintahan yang buruk tak hanya merugikan negara, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang dalam.
Jika kota ini ingin bangkit, maka tak cukup hanya mengganti pejabat. Yang harus dibangun adalah etika, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat. Tanpa itu, bangunan beton seperti Cinde hanya akan menjadi bangkai masa depan yang gagal.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan bagian dari liputan mendalam terhadap kasus-kasus korupsi yang mempengaruhi wajah kota dan kehidupan masyarakat sipil.


