LogikaIndonesia.Com – Syair burung Nuri memecah keheningan di Graha Budaya Jakabaring, Palembang. sosok megah Sultan Mahmud Badaruddin II tokoh legendaris yang menjadi simbol keberanian dan kehormatan kesultanan Palembang Darussalam. Sorot lampu jatuh lembut di wajah para pemain, sementara penonton menyambut dengan tepuk tangan panjang. Sabtu, 18 Oktober 2025, sejarah seperti hidup kembali di tengah kota yang dikenal dengan Sungai Musi dan warisan kebesarannya.
Pementasan teater “Sultan Mahmud Badaruddin II Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” memasuki hari keduanya, namun semangat penonton justru semakin membara. Tiket yang ludes, kursi yang penuh, dan wajah-wajah yang antusias menjadi bukti bahwa seni panggung di Palembang belum mati ia hanya menunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali.
Api dari Istana Adat Dukungan Sultan untuk Kebangkitan Teater Tradisional
Pagi itu menjadi lebih istimewa dengan kehadiran Sultan Palembang Darussalam, SMB IV Jayo Wikramo RM Fauwaz Diradja SH MKn. Duduk di barisan depan, Sultan menyimak dengan khidmat setiap adegan yang menggambarkan perjuangan leluhurnya melawan penjajahan. Usai pertunjukan, ia berdiri dan memberikan tepuk tangan panjang sebuah simbol restu untuk semangat para seniman.
“Saya berharap dengan percikan ini, generasi muda pecinta teater bisa menghidupkan kembali teater yang bernuansa sejarah dan nilai-nilai tradisional,” ujar SMB IV.
Bagi Sultan, pementasan ini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari upaya meneguhkan kembali jati diri Palembang. Ia menekankan pentingnya menghidupkan nilai-nilai Kesultanan Palembang Darussalam sebagai landasan moral dan kebudayaan. Dalam pandangannya, seni panggung dapat menjadi ruang perenungan bagi masyarakat untuk memahami siapa mereka dan dari mana akar sejarah mereka tumbuh.
Ketika Pemerintah Turut Menyapa Panggung
Dukungan terhadap teater ini juga datang dari berbagai pemangku kebijakan daerah. Pandji Tjahjanto, S.Hut, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, menyebut pementasan ini sebagai langkah strategis dalam memperkenalkan sejarah kepada generasi muda.
“Harapannya pementasan semacam ini tetap digelar untuk mengingatkan sejarah kita,” ujarnya dengan penuh semangat.
Sementara itu, Sulaiman Amin, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang, menilai teater tersebut memiliki daya pikat yang luar biasa. Ia bahkan mengusulkan agar pementasan ini difilmkan dan menjadi bagian dari koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, yang direncanakan akan dibuka tahun depan.
“Ini sebagai daya tarik agar orang luar maupun warga Palembang sendiri tertarik berkunjung ke museum,” katanya.
Pernyataan itu menunjukkan adanya kesadaran baru seni panggung bukan sekadar hiburan, melainkan medium promosi budaya dan pariwisata yang efektif, memadukan nilai sejarah dengan daya tarik visual.
Panggung yang Mendidik Kolaborasi Seni dan Dunia Pendidikan
Dari dunia pendidikan, dukungan datang dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang, Affan Prapanca, yang menilai pementasan ini sangat edukatif. Baginya, teater menjadi jembatan antara sejarah dan pembelajaran modern — mengubah narasi kaku dalam buku pelajaran menjadi kisah hidup yang menggugah.
“Kami sudah menghimbau kepada guru dan kepala sekolah agar mempromosikan dan melakukan kajian bersama,” ujar Affan.
Ia berharap kegiatan semacam ini bisa menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal, agar generasi muda tidak hanya mengenal Sultan Mahmud Badaruddin II lewat nama jalan atau patung di taman kota, tetapi memahami nilai perjuangan dan kepemimpinannya secara mendalam.
Di Balik Tirai Ketekunan dan Doa Para Seniman
Di balik gemerlap lampu panggung, ada kerja keras yang tidak terlihat. Vebri Al-Lintani, penulis naskah sekaligus sutradara, tampak sibuk mengatur para pemain. Dengan mata sedikit lelah namun penuh semangat, ia menyebut sambutan hangat masyarakat sebagai anugerah terbesar.
“Kami terus menjaga kondisi pemain dengan vitamin dan doa. Yang penting stamina, kesehatan, dan kewarasan mereka tetap terjaga sampai hari terakhir,” ucapnya sambil tersenyum.
Pementasan ini berlangsung selama lima hari dengan sepuluh kali penayangan — sebuah komitmen besar yang memerlukan disiplin dan daya tahan tinggi. Namun bagi Vebri dan timnya, kelelahan itu terbayar lunas ketika melihat penonton larut dalam emosi, ketika tepuk tangan menggelegar di akhir babak, dan ketika sejarah seolah kembali berdetak di panggung.
Seni Panggung Sebagai Napas Sejarah
Lebih dari sekadar pertunjukan, “Sultan Mahmud Badaruddin II Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” menjadi pernyataan budaya: bahwa Palembang tidak kehilangan arah, bahwa warisan leluhur masih hidup dalam darah anak muda yang mau berkarya.
Dukungan dari kesultanan, pemerintah, hingga dunia pendidikan menunjukkan adanya sinergi baru dalam memuliakan sejarah. Teater menjadi ruang perjumpaan antara masa lalu dan masa kini, antara idealisme dan kenyataan, antara kebanggaan dan tanggung jawab.
Namun semangat itu tetap menyala di Graha Budaya Jakabaring. Lampu panggung meredup, dan tepuk tangan panjang menggema. Seperti pesan yang disampaikan lewat lakon ini Sultan Mahmud Badaruddin II tidak hanya hidup dalam buku sejarah, tetapi dalam setiap jiwa yang berani menjaga dan memperjuangkan warisan budaya Palembang.




