Taman Bacaan yang Menolak Lupa Meski Pemerintah Memberi Label
Di sebuah kampung di tepian Sungai Musi, suara syair klasik masih terdengar lirih dari sebuah panggung kecil. Bukan dari gedung pertunjukan, bukan pula dari acara resmi pemerintah. Tapi dari halaman rumah warga, di tengah acara perkawinan. Di sinilah, di Kampung Tangga Takat, dua warisan budaya Palembang—Dulmuluk dan Bangsawan—masih dijaga dengan sepenuh hati.
Dan pusat dari semua itu adalah sebuah tempat sederhana: Taman Bacaan Tangga Takat.
Warisan yang Terus Dihidupkan
Dulmuluk dan Bangsawan adalah dua bentuk seni pertunjukan klasika di Palembang. Dulmuluk, dengan syair-syair Arab-Melayunya, dan Bangsawan, dengan lakon-lakon kerajaan dan moralitasnya, pernah menjadi hiburan utama masyarakat. Namun kini, panggung mereka semakin sempit.
Di Tangga Takat, seni itu tidak dibiarkan mati. Warga tetap menampilkannya dalam berbagai acara pada saat pernikahan,sunatan marhabah dan peringatan hari hari besar Nasional.
“Kalau bukan kami yang jaga, siapa lagi?” ujar Pak Rusli, salah satu warga lorong taman bacaan.
Dulmuluk: Dari Syair ke Panggung
Dulmuluk berakar dari sebuah karya sastra berjudul Syair Abdul Muluk, yang ditulis pada 2 Juli 1845. Ada dua versi mengenai penulisnya: sebagian menyebut Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat, sementara versi lain menyebut Saleha, sepupu Raja Ali Haji
Seni pertunjukan ini mulai dikenal di Palembang berkat seorang pedagang keturunan Arab bernama Wan Bakar (Syekh Ahmad Bakar), yang membacakan syair tersebut di sekitar di Tangga Takat, 16 Ulu, pada tahun. Awalnya hanya berupa pembacaan syair, pertunjukan ini kemudian berkembang dengan peragaan tokoh dan iringan Biola, Gendang dan Gong.
Pada awal abad ke-20, Dulmuluk mulai dipentaskan secara teatrikal. Pementasan pertama tercatat pada tahun 1919, dan sejak itu Dulmuluk menjadi bagian dari berbagai acara masyarakat, dari pesta rakyat hingga pertunjukan resmi.
Kampung Tematik, Tapi Budaya Tetap Swadaya
Dinas Kebudayaan Kota Palembang menetapkan Tangga Takat sebagai salah satu kampung tematik.
“Tidak ada pelatihan, tidak ada panggung, tidak ada dana,” kata Ibu Nurhayati, Tapi kami tidak menunggu. Kami tetap jalan.”
Bagi warga Tangga Takat, pelestarian budaya bukan soal proyek pemerintah. Ini soal identitas. Soal harga diri. Soal warisan yang harus dijaga, meski hanya dengan modal semangat dan gotong royong.
Taman Bacaan yang Jadi Panggung dan Arsip Hidup
Taman Bacaan Tangga Takat bukan sekadar tempat membaca. Di sinilah naskah Dulmuluk menurut tutur dari orang tua kami WAN bakar membacakan syair Abdul Muluk.
“Anak-anak sekarang lebih kenal dengan Mobil Legend, TikTok daripada Dulmuluk,” ujar Ibu Nurhayati sambil tersenyum. “Tapi kalau kita tidak kenalkan, mereka tidak akan pernah tahu.”
Taman bacaan ini juga menjadi ruang dokumentasi. Naskah-naskah lama dikumpulkan, direkam, dan disimpan. Beberapa warga bahkan mulai membuat video pertunjukan untuk diunggah ke media sosial, sebagai cara baru menjaga yang lama.

Di tengah arus modernisasi dan minimnya perhatian pemerintah, Tangga Takat memilih untuk menanam akar lebih dalam. Mereka tahu, budaya bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dihidupi.
“Dulmuluk dan Bangsawan bukan sekadar hiburan,” kata Pak Rusli. “Itu cara kami bercerita. Cara kami menasihati. Cara kami mengingat siapa kami.”
Selama masih ada satu panggung kecil yang menampilkan Dulmuluk dan Bangsawan, maka lorong Taman Bacaan Tangga Takat akan terus menjadi penjaga budaya yang tak tergoyahkan.


