6.452 Kasus, Nol Tersangka: Ketika Sistem Tak Pernah Belajar

0
24

Di negeri yang gemar menyusun rencana dan membentuk tim koordinasi, tragedi bisa menjadi rutinitas. Seperti pagi itu, ketika ambulans berderet di halaman puskesmas, membawa anak-anak yang muntah, lemas, dan tak sadarkan diri. Orang tua berlarian, panik. Wartawan mulai berdatangan. Tapi di ruang rapat para pejabat, yang terdengar hanya jargon: koordinasi, evaluasi, sinergi. Kata-kata yang menenangkan hati sendiri, bukan menyelamatkan korban.

Sudah 6.452 kasus keracunan massal tercatat dalam tiga bulan terakhir. Tapi tak satu pun pejabat duduk di kursi terdakwa. Tak ada permintaan maaf. Tak ada pengakuan kegagalan. Yang ada hanya saling tunjuk.

Menteri Dalam Negeri bilang, “Itu salah Pemda.” Pemerintah daerah membalas, “Kami cuma jalankan arahan pusat.” Sementara Badan Gizi Nasional—pemilik program yang jadi sumber masalah—diam seribu bahasa. Seolah kebal dari kritik, mereka tetap bertahan di menara gadingnya, jauh dari suara masyarakat.

Statistik yang Membungkam Nurani

Angka-angka terus bergulir di layar presentasi jumlah korban, lokasi kejadian, jenis makanan yang tercemar. Tapi di balik grafik dan tabel, ada anak-anak yang kehilangan kesadaran, ada keluarga yang kehilangan kepercayaan. Di desa-desa, warga mulai bertanya: “Kenapa tak ada yang bertanggung jawab?”

Di kota, para pejabat sibuk menyusun pernyataan pers. “Kami sedang melakukan investigasi,” kata mereka. “Kami akan memperbaiki SOP.” Tapi publik tahu ini bukan pertama kalinya. Dan kemungkinan besar, bukan yang terakhir.

Pejabat Tetap Tampil Percaya Diri

Di layar televisi, para pejabat tetap tampil percaya diri. Mengenakan jas rapi, bicara tentang “penguatan regulasi” dan “perbaikan sistem.” Tapi tak satu pun bicara tentang rasa bersalah. Tak ada refleksi. Tak ada empati.

Yang luar biasa bukanlah skala keracunannya, tapi kemampuan sistem untuk tidak pernah merasa bersalah. Di negeri ini, tragedi bisa berubah menjadi statistik. Tanggung jawab menjadi kabur. Dan sistem, dengan segala kelincahannya, selalu berhasil menghindar dari cermin.

Sistem yang Dirancang untuk Lolos

Jika ditelusuri, akar masalah bukan hanya pada satu program atau satu pejabat. Ini tentang sistem yang dirancang untuk melindungi diri sendiri. Ketika terjadi kesalahan, tanggung jawab menyebar ke banyak arah hingga tak bisa lagi ditentukan siapa yang harus bertanggung jawab.

Badan Gizi Nasional, misalnya, menyusun program makanan tambahan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Pemerintah daerah melaksanakan program tanpa pelatihan teknis yang cukup. Dan ketika terjadi keracunan, semua pihak berlindung di balik prosedur.

Suara yang Tak Didengar

Di media sosial, masyarakat bersuara. Ada yang mengunggah foto anaknya di ambulans. Ada yang menulis surat terbuka kepada presiden. Tapi suara-suara itu tenggelam di antara laporan resmi dan konferensi pers.

“Anak saya muntah darah setelah makan dari program itu,” tulis seorang ibu di akun Facebook-nya. “Saya hanya ingin tahu, siapa yang bertanggung jawab?”

Tak ada jawaban.

Apa yang Kita Butuhkan Bukan Evaluasi, Tapi Kejujuran

Evaluasi memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah kejujuran. Kejujuran untuk mengakui kesalahan. Kejujuran untuk bertanggung jawab. Dan kejujuran untuk memperbaiki, bukan sekadar mengganti istilah.

Karena di balik setiap angka, ada manusia. Ada anak-anak yang seharusnya bermain, bukan terbaring di ranjang rumah sakit. Ada orang tua yang seharusnya tenang, bukan menangis di lorong puskesmas.

Akhirnya, Kita Harus Bertanya Untuk Siapa Sistem Ini Dibangun?

Jika sistem tak bisa melindungi yang paling rentan, maka sistem itu harus diubah. Jika pejabat tak bisa merasa bersalah, maka publik harus bersuara lebih keras. Karena tragedi bukan sekadar kegagalan teknis. Ia adalah cermin dari nilai-nilai yang kita anut.

Dan saat ini, cermin itu retak. Tapi belum hancur. Masih ada harapan jika kita berani melihatnya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini