5.000 Dapur Fiktif Ketika Program Gizi Anak Tergelincir ke Jurang Korupsi

0
30

Logika Indonesia.Com – “Kalo ampe bener, rusak udah sistem negara ini.” Kalimat itu meluncur dari seorang aktivis gizi anak saat mendengar kabar bahwa ribuan titik dapur dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ternyata fiktif. Bukan sekadar ekspresi frustrasi, itu adalah refleksi dari kekecewaan mendalam terhadap sistem yang seharusnya melindungi generasi masa depan.

Program MBG, yang digagas sebagai solusi atas krisis gizi anak di Indonesia, kini berada di bawah sorotan tajam. Nurhadi, anggota Komisi IX DPR RI, mengungkap bahwa terdapat sekitar 5.000 titik dapur fiktif yang tercatat dalam sistem Badan Gizi Nasional (BGN). Lokasi-lokasi tersebut telah terdaftar secara resmi, namun tidak pernah dibangun. Tidak ada aktivitas memasak, tidak ada distribusi makanan bergizi, dan yang paling menyedihkan: tidak ada anak-anak yang menerima manfaat.

Modus Operandi Menjual Lokasi, Mengabaikan Anak

Menurut Nurhadi, ada oknum yang memahami secara mendalam mekanisme kerja BGN. Mereka memanfaatkan celah administratif untuk menjual lokasi dapur kepada pihak ketiga, tanpa niat membangun fasilitas apapun. “Ini bukan sekadar penyimpangan teknis,” tegas Nurhadi dalam rapat dengar pendapat. “Ini adalah pengkhianatan terhadap hak anak-anak Indonesia.”

Modus ini terbilang rapi titik dapur didaftarkan, diverifikasi secara administratif, lalu dijual sebagai ‘proyek siap bangun’. Namun setelah dana cair, pembangunan tidak pernah terjadi. Sistem verifikasi lapangan yang lemah membuat praktik ini lolos dari pengawasan selama berbulan-bulan.

Program MBG dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin dan daerah terpencil. Dengan menyediakan makanan bergizi setiap hari, pemerintah berharap bisa menurunkan angka stunting dan meningkatkan konsentrasi belajar anak-anak. Namun dengan ribuan titik dapur fiktif, berapa banyak anak yang seharusnya menerima makanan, tapi tidak pernah mendapatkannya?

Lemahnya Sistem Verifikasi dan Pengawasan

Temuan ini mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem pengawasan BGN. Verifikasi lokasi dapur hanya dilakukan secara administratif, tanpa inspeksi lapangan yang memadai. Bahkan dalam beberapa kasus, satu petugas verifikasi mengaku harus memeriksa 300 titik dalam waktu dua minggu—mustahil dilakukan dengan akurasi tinggi.

Audit internal BGN yang dilakukan awal tahun ini pun tidak mendeteksi anomali tersebut. Baru setelah laporan dari masyarakat dan investigasi legislatif, skandal ini mulai terkuak.

Tuntutan Reformasi dan Transparansi

Berbagai pihak kini mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh titik dapur MBG. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima laporan awal dan sedang mempertimbangkan penyelidikan lebih lanjut. Sementara itu, Kementerian Kesehatan diminta untuk mengevaluasi ulang sistem kerja BGN, termasuk mekanisme verifikasi dan pelaporan.

“Jika benar 5.000 titik itu fiktif, maka bukan hanya dapur yang tidak dibangun—kepercayaan publik pun ikut runtuh,” kata Nurhadi.

Anak-anak Tak Boleh Jadi Korban

Di tengah hiruk-pikuk politik dan birokrasi, satu hal yang tak boleh dilupakan: anak-anak Indonesia. Mereka adalah pihak yang paling dirugikan dalam skandal ini. Ketika dapur tidak dibangun, mereka tidak hanya kehilangan makanan bergizi, tapi juga kehilangan harapan.

Program MBG seharusnya menjadi simbol komitmen negara terhadap masa depan generasi muda. Namun jika tidak segera dibenahi, ia bisa berubah menjadi contoh nyata bagaimana niat baik bisa tergelincir ke jurang korupsi.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini